Tricyclic
Antidepressant
Dari semua obat yang diresepkan
untuk DPNP, penggunaan tricyclic anti-depresant (TCA) paling banyak didukung
riset. TCA diberikan sebagai obat oral pilihan pertama bila toleransi pasien
baik dan tidak ada kontraindikasi terhadap TCA. Beberapa pasien, terutama lanjut
usia, sensitif terhadap efek antikolinergik dan antihistaminik obat ini. TCA
kontraindikasi pada pasien pre-existing cardiac conduction defect. Dengan
alasan ini maka sebaiknya pada pasien DPNP berusia lebih dari 50 tahun, jangan
diberikan TCA, walaupun tidak ada kontraindikasinya.
Salah
satu mitos yang masih ada bahwa amitriptyline mempunyai efek analgesik yang
paling poten daripada TCA lainnya. Kenyataannya, semua TCA mempunyai efek
analgesik yang sama. Jadi berikan desipramine dan nortiptyline, yang mempunyai
efek antikolinergik dan antihistaminik yang lebih ringan. Beberapa pasien yang
minum TCA merasa sangat mengantuk karena efek antihistaminiknya, tetapi efek
ini menguntungkan karena membantu mereka tidur pada malam hari, dimana saat
tersebut keluhan DPNP bisa sangat parah.
SNRI
yang lain
Setelah TCA, obat yang efektif
untuk DPNP adalah antikonvulsan pregabalin dan gabapentin, dan antidepresan
serotonin norepinephrine reuptake inhibitor (SNRI) duloxetine dan venlafaxine.
Beberapa studi meneliti perbandingan obat-obat ini, hasilnya tidak ada
perbedaan efektivitas pada tiap pasien.
Bila
pemberian TCA tidak menghasilkan efek analgesia dan antidepresan yang
diharapkan, maka gantilah dengan antikonvulsan karena obat ini mempunyai efek
analgesia yang berbeda dengan SNRI, dan mempunyai efek yang mirip dengan TCA,
tetapi dengan efek samping yang lebih ringan.
Karena
kedua antidepressan, duloxetine dan venlafaxine harus diberikan sebelum
pemberian antikonvulsan jika pasien mempunyai co-morbid depresi. Depresi sering
terjadi pada pasien DM, dan dapat mencetuskan dan mengeksaserbasi penyakit ini
(14,15). Seperti TCA, duloxetine dan venlafaxine mempunyai efek anti-depresan
yang baik. Jenis antidepresan yang lain, seperti selective serotonin reuptake
inhibitor (SSRI), efektif untuk depresi, tetapi hanya sedikit dapat menurunkan
nyeri.
Duloxetine
indikasinya DPNP; banyak dokter yang lebih suka meresepkannya daripada
venlafaxine. Duloxetine dapat menyebabkan interaksi obat karena efek inhibitory
kuat pada sistem enzim hepatic cytochrome P-450 2D6, yang terlibat pada
metabolisme berbagai obat (16).
Mulailah
dengan memberikan duloxetine 30 mg/hari selama 1 minggu, kemudian dosis
ditingkatkan sampai 60 mg/hari. Bila mulai dengan dosis kecil, maka efek nausea
dapat dihindari. Dosis 60 mg/hari cukup untuk pasien pada umumnya, tapi ada
pula pasien tertentu yang memerlukan dosis 90 mg/hari, atau bahkan 120 mg/hari,
supaya efektif (17).
Bila
menggunakan venlafaxine, disarankan sediaan extended-release. Dosisnya sekali
sehari dan efek nausea-nya lebih kecil daripada sediaan immediate-release.
Mulailah dengam dosis 75 mg/hari (37.5 mg/hari untuk pasien lanjut usia)
kemudian tingkatkan dengan interval 3-4 hari sampai dosis 150 mg/hari.
Pertahankan dosis tersebut selama 2-3 minggu. Bila responsnya kurang baik,
tingkatkan dosis sebesar 37.5 mg setiap minggu. Dosis paling tinggi adalah 450
mg/hari; beberapa dokter memberikan dosis lebih tinggi lagi, tetapi tidak ada
bukti yang mendukung bahwa dosis lebih tinggi dapat meredakan nyeri lebih baik.
Tidak seperti TCA,
duloxetine dan venlafaxine efek antihistaminiknya kecil, dan tidak terlalu
sedatif. Untuk pasien yang sukar tidur, berilah non-benzodiazepine
sedative-hypnotic, seperti zolpidem, zaleplon, eszopiclone atau ramelteon,
sebagai tambahan antidepresan (18).
Antikonvulsan
Pregabalin dan gabapentin efek
analgesiknya mirip, tapi sebaiknya gunakan yang pertama lebih dahulu.
Gabapentin efektif juga, tetapi sulit mencapai dosis terapetik karena terlalu
sedatif. Bagi kebanyakan pasien, dibutuhkan paling dosis 1,600 mg/hari, atau
lebih. Walaupun obat tersebut diberikan malam hari, beberapa pasien masih
mengeluh ngantuk pada siang hari bila minum obat ini.
Walapun pregabalin
efeknya juga sedasi, tapi kurang menyebabkan ngantuk siang hari. Beberapa
klinisi lebih suka memberi duloxetine, karena merupakan indikasi untuk DPNP.
Opioid
Oxycodone dan tramadol adalah dua
opioid yang digunakan untuk terapi DPNP, dan paling banyak disuport oleh
literatur. Karena nyeri DPNP biasanya konsisten, dan terus menerus, maka
berilah sediaan extended-release obat-obat ini setelah dosis optimal yang dapat
ditentukan dengan penggunaan sediaan dose immediate-release terlebih dahulu.
Oxycodone dan
tramadol lebih efektif untuk DPNP daripada opioid lainnya masih dipertanyakan;
kelebihannya berhubungan dengan kenyataan bahwa obat tersebut diteliti lebih
banyak untuk terapi DPNP daripada opioid lainnya. Berbagai opioid lain juga
efektif untuk terapi nyeri neuropatik secara umum (19), dan penelitian terbaru
mengindikasikan bahwa fentanyl transdermal baik untuk DPNP (20). Oxymorphone,
merupakan sediaan which oral short-acting dan extended-release, adalah
metabolit oxycodone dan, mempunyai efek analgesia yang mirip.
Tramadol adalah
obat kombinasi yang mengandung opioid lemah dan SNRI lemah. Studi opioid
antagonis menunjukkan bahwa analgesia yang paling kuat adalah tramadol karena
sifat SNRI-nya (21).
Tramadol merupakan
suatu opioid, mempunyai risiko penyalahgunaan dan ketergantungan psikis.
Sebaiknya menggunakan obat yang lebih mempunyai efek SNRI, seperti TCAs,
duloxetine atau venlafaxine.
Kombinasi
Terapi Analgesik
Pasien DPNP biasanya diberikan
kombinasi 2 obat atau lebih. Masih belum banyak penelitian mengenai efikasi
kombinasi terapi atau kombinasi mana yang lebih efektif (22). Bila memberikan
terapi kombinasi, pilihlah obat yang berbeda kelasnya, seperti antidepresan
dengan antikonvulsan atau opioid selain tramadol.
Obat-obat yang digunakan:
·
Amitriptyline
·
Capsaicin
·
Desipramine
·
Duloxetine
·
Eszopiclone
·
Fentanyl,
transdermal
·
Gabapentin
·
Lidocaine
patch 5%
·
Nortriptyline
·
Oxycodone
·
Oxymorphone
·
Pregabalin
·
Ramelteon
·
Venlafaxine
·
Tramadol
·
Zaleplon
·
Zolpidem