Kepemimpinan Sebagai Variabel Pemoderasi Hubungan Budaya & Kinerja Organisasional
Sejarah telah menunjukkan pada kita bagaimana Nabi Muhammad S.A.W, Mao Tse-tung dan Indira Gandhi telah meletakkan dasar dan visi pada komunitas umatnya yang selanjutnya membentuk suatu budaya yang sedemikian kuat pada mereka yang dipimpin. Mungkin saja mereka mempunyai karakteristik perilaku transformasional yang luar biasa sehingga dapat mempengaruhi budaya masyarakat mencapai cita-cita atau tujuan perjuangannya.
Fenomena di atas merupakan ilustrasi perilaku kepemimpinan transformasional di mana variabel kepemimpinan mempengaruhi budaya, bahkan secara lebih jauh membentuk budaya. Namun demikian banyak fenomena pemimpin negara dan organisasi tidak cukup mempengaruhi secara langsung sistem dan budaya organisasi dalam keefektifan pencapaian tujuan organisasi/ negara. Kondisi demikian sering disebabkan tatanan budaya sudah sedemikian kuat melekat pada organisasi tersebut.
Trice dan Beyer (1991,1993) memformulasikan sebuah model yang membandingkan perubahan budaya dan kepemimpinan mempertahankan (maintenance leadership). Pemimpin-pemimpin yang mempertahankan budaya menegaskan nilai-nilai dan tradisi, tradisi yang berlaku cocok bagi keefektifan organisasi.
Sejumlah studi tentang suksesi telah digunakan untuk menilai jumlah perubahan yang terjadi terkait dengan kinerja organisasional menunjukkan bahwa kepemimpinan tidak mempengaruhi secara penting terhadap tatanan budaya lama dengan kinerja Pfeffer, (1977), Brown (1982) dan Meindl et al. (1985). Bukti tambahan menunjukkan bahwa hubungan eksekutif puncak terhadap kinerja menunjukkan bahwa para pemimpin baru kemungkinan tidak mempunyai banyak efek terhadap kinerja kecuali mereka mempunyai keterampilan yang lebih baik. Secara umum penelitian tentang suksesei masih sangat terbatas sehingga kemungkinan untuk melakukan kajian lebih dalam (in depth) masih sangat dibutuhkan.
Dalam konteks tersebut juga dimungkinkan bahwa kepemimpinan tidak mempengaruhi budaya secara langsung, namun mempertegas hubungan antara budaya organisasi dan keefektifan organisasional. Pendekatan mengenai ciri pemimpin (traits) lebih menekankan pada aspek-aspek yang sifatnya (take for granted) atau kehadirannya secara alamiah. Sehingga dalam pendekatan ini tidak menekankan pada upaya merubah kepemimpinan untuk memprediksi kinerja. Hal tersebut memungkinkan jenis ciri fisik, intelegensia dan psikologi menjadi variabel situasional dalam kaitannya dengan hubungan antara budaya organisasional dan keefektifan organisasional.
SIMPULAN
Bahasan dalam artikel ini merupakan suatu upaya menyampaikan gagasan sederhana mengenai kemungkinan hubungan ketiga variabel yang meliputi budaya organisasional, keefektifan organisasional dan kepemimpinan dalam suatu penelitian.
Hubungan dua variabel antara budaya organisasional dan keefektifan organisasional relatif lebih robust, dengan konstruksi teori dan pengujian yang relatif baik. Namun penelitian yang melibatkan tiga konstruk di atas masih terbuka ruang yang luas untuk melakukan simulasi konstruksi teori sebagai dasar riset terkait dengan berbagai isu.
Banyaknya konstruk dan hubungan antar konstruk yang melibatkan budaya organisasional, kepemimpinan dan keefektifan organisasional memperlihatkan betapa luasnya perspektif di antara hal tersebut. Hal tersebut disebabkan oleh kompkleksitas dalam ilmu sosial pada umumnya dan telaah subyektif para peneliti (Hubert & Blalock, 1984)
Tingkat kompleksitas dari konstruk–konstruk di atas akan menyebabkan ambiguitas konstruk-konstruk tersebut, khususnya dalam untuk kepentingan riset dan pengukuran (measurement). Beberapa kelemahan konstruk-konstruk di atas antara lain: konstruk masih sulit difahami dan berdimensi luas sehingga berakibat problem konseptual serta ambiguitas, dan dan metoda riset masih lemah seperti penetuan hubungan sebab akibat (causality), tingkat analisis dalam penelitian dan kerangka waktu dalam penelitian tersebut. Dalam kaitannya dengan problem tersebut maka konstruk-konstruk tersebut harus diterjemahkan menjadi variabel-variabel yang terukur sehingga riset menjadi lebih kuat prediksinya.
Saran bagi penelitian di masa datang terkait dengan ketiga konstruk tersebut adalah bahwa pada langkah awal, seorang peneliti harus dapat memahami research problem ataupun research issue terkait dengan konstruk-konstruk tersebut pada setting yang diteliti. Tahap selanjutnya mendefiniskan secara jelas ketiga konstruk di atas dan menterjemahkan menjadi variabel operasional yang spesifik sehingga dapat meningkatkan kemampuan prediksi menjadi lebih baik. Pendekatan kontingensi mensupport pola di atas bahwa dalam kajian manajemen tidak pernah menganjurkan “satu cara yang terbaik” mengingat banyak dan beragamnya setting yang dihadapi.
ADS HERE !!!