• Home
  • About
  • Contact
  • Sitemap
  • Disclaimer
  • Privacy Policy
  • Advertise
Tujuan I -  Pendidikan Online

Ahok Djarot Pilkada DKI

  • AHOK DJAROT PILKADA DKI
  • Home
  • DUNIA KESEHATAN
  • HUKUM PIDANA
  • MANAJEMEN
  • DAFTAR OBAT MUNTAH
  • SURAT LAMARAN KERJA
  • ▼
Home → Tanpa Kategori → PERCOBAAN (POGING, ATTEMPT)

PERCOBAAN (POGING, ATTEMPT)

Unknown
Saturday, October 26, 2013
I. PENGERTIAN 

Di dalam bab IX buku I KUHP (tentang arti beberapa istilah yang dipakai dalam kitab undang-undang), tidak dijumpai rumusan arti atau definisi mengenai apa yang dimaksud dengan istilah “percobaan”. KUHP hanya merumuskan batasan mengenai kapan dikatakan adanya percobaan untuk melakukan kejahatan yang dapat dipidana, yaitu pasal 53 (1) yang menyatakan : 

“Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri”. 

Redaksi pasal ini jelas tidak merupakan suatu definisi, tetapi hanya merumuskan syarat-syarat atau unsur-unsur yang menjadi batas antara percobaan yang dapat dipidana dan yang tidak dapat dipidana. 



Percobaan yang dapat dipidana menurut system KUHP bukanlah percobaan terhadap semua jenis tindak pidana. Yang dapat dipidana hanyalah percobaan terhadap tindak pidana yang berupa “kejahatan” saja, sedangkan percobaan terhadap pelanggaran tidak dipidana sebagimana ditentukan dalam pasal 54 KUHP. Pada pasal 54 KUHP memperlihatkan adanya pemikiran dari para perumusnya bahwa delik pelanggaran bersifat lebih ringan dari pada kejahatan. Oleh karena itu percobaan pun terlalu rendah dari KUHP. Disamping itu perlu dicatat bahwa ketentuan umum dalam pasal 53 (1) diatas tidak berarti bahwa percobaan terhadap semua kejahatan dapat dipidana. Pengecualian tersebut misalnya : 

· Percobaan duel / perkelahian tanding (pasal 184 ayat 5); 

· Percobaan penganiayaan ringan terhadap hewan (pasal 302 ayat 4); 

· Percobaan penganiayaan biasa (pasal 351 ayat 5); 

· Percobaan penganiayaan ringan (pasal 352 ayat 2); 

II. SIFAT LEMBAGA PERCOBAAN 

Apakah percobaan itu merupakan suatu bentuk delik khusus yang berdiri sendiri ataukah hanya merupakan suatu delik yang tidak sempurna? 

Mengenai sifat dari percobaan ini terdapat dua pandangan : 

(1). Percobaan dipandang sebagai Strafausdehnungsgrund (dasar/alasan perluasan pertanggungjawaban pidana). 

Menurut pandangan ini, seseorang yang melakukan percobaan untuk melakukan suatu tindak pidana meskipin tidak memenuhi semua unsur delik, tetap dapat dipidana apabila telah memenuhi rumusan pasal 53 KUHP. Jadi sifat percobaan adalah untuk memperluas dapat dipidananya orang, bukan memperluas rumusan-rumusan delik. Dengan demikian menurut pandangan ini, percobaan tidak dipandang sebagai jenis atau bentuk delik yang tersendiri (delictum sui generis) tetapi dipandang sebagai bentuk delik yang tidak sempurna (onvolkomen dekictsvorm). Termasuk dalam pandangan pertama ini ialah : Prof. Ny. Hazewinkel-Suringa dan Porf. Oemar Seno Adji. 



(2). Percobaan dipandang sebagai Tatbestandausdehnungsgrund (perluasan delik). 



Menurut pandangan ini, percobaan melakukan sesuatu tindak pidana merupakan satu kesatuan yang bulat dan lengkap. Percobaan bukanlah bentuk delik yang tidak sempurna, tetapi merupakan delik yang sempurna hanya dalam bentuk yang khusus/istimewa. Jadi merupakan delik tersendiri (delictum sui generis). Termasuk dalam pandangan kedua ini ialah Prof. Pompe dan Prof. Moelyatno. 



Alasan Prof. Moelyatno memasukkan percobaan sebagai delik tersendiri, ialah : 

a. Pada dasarnya seseorang itu dipidana karena melakukan suatu delik; 

b. Dalam konsep “perbuatan pidana” (pandangan dualistis) ukuran suatu delik didasarkan pada pokok pikiran adanya sifat berbahayanya perbuatan itu sendiri bagi keselamatan masyarakat; 

c. Dalam hukum adat tidak dikenal percobaan sebagai bentuk delik yang tidak sempurna (onvolkomen delictsvorm), yang ada hanya delik selesai. 

d. Dalam KUHP ada beberapa perbuatan yang dipandang sebagai delik yang berdiri sendiri dan merupakan delik selesai, walaupun pelaksanaan dari perbuatan itu sebenarnya belum selesai, jadi baru merupakan percobaan. Misalnya delik-delik maker (aanslagdelicten) dalam pasal 104, 106, dan 107 KUHP. 



Mengenai contoh yang dikemukakan Prof Moelyatno terakhir ini, dapat pula misalnya dikemukakan contoh adanya pasal 163 bis. Menurut pasal ini percobaan untuk melakukan penganjuran (poging tot uitloking) atau yang biasa juga disebut penganjuran yang gagal (mislukte uit-lokking) tetap dapat dipidana, jadi pandangan sebagai delik yang berdiri sendiri. 



Mengenai adanya dua pandangan tersebut diatas. Prof. Mulyatno berpendapat bahwa pandangan pertama sesuai dengan alam atau masyarakat individual karena yang diutamakan adalah strafbaarheid van de person (sifat dipidananya orang); sedangkan pandangan yang kedua sesuai dengan alam atau masyarakat kita sekarang karena yang diutamakan adalah perbuatan yang tak boleh dilakukan. 



III. DASAR PATUT DIPIDANANYA PERCOBAAN 

Mengenai dasar pemidanaan terhadap percobaan ini, terdapat beberapa teori sbb: 

1. Teori Subyektif 

Menurut teori ini, dasar patut dipidananya percobaan terletak pada sikap batin atau watak yang berbahaya dari si pembuat. Termasuk penganut teori ini ialah Van Hamel. 



2. Teori Obyektif 

Menurut teori ini, dasar patut dipidananya percobaan terletak pada sifat berbahayanya perbuatan yang dilakukan oleh si pembuat. Teori ini terbagi dua, yaitu : 

2.a. Teori obyektif-formil. Yang menitik beratkan sifat berbahayanya perbuatan itu terhadap tata hukum. 

2.b. Teori obyektif-materiil. Yang menitik beratkan sifat berbahayanya perbuatan itu terhadap kepentingan / benda hukum. Penganut teori ini antara lain Simons. 

3. Teori Campuran. 

Teori ini melihat dasar patut dipidananya percobaan dari dua segi, yaitu : sikap batin pembuat yang berbahaya (segi subyektif) dan juga sifat berbahayanya perbuatan (segi obyektif). Termasuk dalam teori ini ialah pendapat Langemeyer dan Jonkers. 

Namun karena dalam kenyataanya, pelaksanaan dari teori ini tidak mudah, mereka nampaknya lebih cendrung pada teori subyektif. 

Prof. Moelyatno dapat dikategorikan sebagai penganut teori campuran. Menurut beliau rumusan delik percobaan dalam pasal 53 KUHP mengandung dua inti yaitu : yang subyektif (niat untuk melakukan kejahatan tertentu) dan yang obyektif (kejahatan tersebut telah mulai dilaksanakan tetapi tidak selesai). Dengan demikian menurut beliau, dalam percobaan tidak mungkin dipilih salah satu diantara teori obyektif dan teori subyektif karena jika demikian berarti menyalahi dua inti dari delik percobaan itu; ukurannya harus mencakup dua criteria tersebut (subyektif dan obyektif). Di samping itu beliau mengatakan bahwa baik teori subyektif maupun obyektif, apabila dipakai secara murni akan membawa kepada ketidak adilan. 



IV. UNSUR-UNSUR PERCOBAAN 

Dari rumusan pasal 53 (1) KUHP diatas jelas terlihat bahwa unsur-unsur percobaan ialah : 

IV.1. Niat. 

Kebanyakan para sarjana berpendapat bahwa unsur niat sama dengan sengaja dalam segala tingkatan/coraknya. Catatan Prof. Moelyatno terhadap unsur niat : 

a. Niat jangan disamakan dengan kesenjangan, tetapi niat secara potensiil dapat berubah menjadi kesenjangan apabila sudah ditunaikan menjadi perbuatan yang dituju; dalam hal semua perbuatan yang diperlukan untuk kejahatan telah dilakukan, tetapi akibat yang dilarang tidak timbul (percobaan selesai/voltooidc poging), disitu niat 100% menjadi kesengajaan, sama kalau mengahadapi delik selesai. 

b. Tetapi kalau belum semua ditunaikan menjadi perbuatan maka niat masih ada dan merupakan sikap batin yang membari arah kepada perbuatan, yaitu subjectieve onrechtselement. 

c. Oleh karena itu niat tidak sama dan tidak bisa disamakan dengan kesengajaan, maka isinya niat jangan diambilkan dari isinya kesengajaan apabila kejahatan timbul; untuk ini diperlukan pembuktian tersendiri bahwa isi yang tertentu tadi sudah ada sejak niat belum ditunakan jadi perbuatan. 

Dari delik percobaan dapat mempunyai dua arti : 

1. Dalam hal percobaan selesai (percobaan lengkap/voltoo-ide poging/completed attempt), niat sama dengan kesengajaan; 

2. Dalam hal percobaan tertunda (percobaan terhenti atau tidak lengkap/geschorste poging/incompleted attempt), niat hanya merupakan unsur sifat melawan hukum yang subyektif (subyektif onrechtselement). 



Dikatakan ada “percobaan selesai” apabila terdakwa telah melakukan semua perbuatan yang diperlukan untuk terjadinya kejahatan, tetapi akibat yang terlarang tidak terjadi; 

Misal : A bermaksud membunuh B dengan pistol, Picu (trekker) pistol telah ditarik, tetapi ternyata pistol tersebut tidak meletus atau tembakan tidak mengenai sasaran. Dalam hal ini, menurut Moelyatno, niat sudah berubah menjadi kesengajaan karena telah diwujudkan dalam bentuk perbuatan. 

Tetapi apabila dalam contoh diatas, perbuatan yang diperlukan untuk terjadinya kejahatan belum dilakukan (misal : picu belum ditarik) sehingga akibat yang terlarang juga belum ada maka dalam hal demikian dikatakan ada “percobaan tidak selesai/tertunda”. Menurut Moelyatno, dalam hal ini maka niat yang belum diwujudkan sebagai perbuatan (belum ditunaikan keluar) masih tetap menjadi niat yaitu baru merupakan sikap batin yang mengarah kepada suatu perbuatan yang melawan hukum. 

Dalam hal niat telah berubah menjadi kesengajaan, Prof. Moelyatno setuju dengan pendapat yang luas bahwa hal itu meliputi juga kesenjangan sebagai keinsyafan kemungkinan. 



IV.2. Ada permulaan pelaksanaan. 

Unsur kedua ini, merupakan persoalan pokok dalam percobaan yang cukup sulit karena baik secara teori maupun praktek selalu dipersoalkan batas antara perbuatan persiapan (voorbereidingshandeling) dan perbuatan pelaksanaan (uitvoeringshandeling). Dalam memecahkan masalah ini para sarjana menghubungkannya dengan teori atau dasar-dasar patut dipidananya percobaan. Bertolak dari pandangan atau teori percobaan yang subyektif, VAN HAMEL berpendapat bahwa dikatakan ada perbuatan pelaksanaan apabila dilihat dari perbuatan yang telah dilakukan telah ternyata adanya kepastian niat untuk melakukan kejahatan. Jadi yang dipentingkan atau yang dijadikan ukuran oleh VAN HAMEL ialah ternyata adanya sikap batin yang jahat dan berbahaya dari si pembuat. Ukuran demikian menurut VAN HAMEL sesuai dengan ajaran hukum pidana yang lebih baru yang bertujuan memberantas kejahatan sampai ke akar-akarnya. 

Bertolak dari pandangan atau teori percobaan yang obyektif materiil, SIMIONS berpendapat sbb : 

a. Pada delik formil, perbuatan pelaksanaan ada apabila telah dimulai perbuatan yang disebut dalam rumusan delik; 

b. Pada delik materiil, perbuatan pelaksanaan ada pabila telah dimulai/dilakukan perbuatan yang menurut sifatnya langsung dapat menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang tanpa mensyaratkan adanya perbuatan lain. 

Contoh untuk delik formil : 

A bermaksud melakukan pencurian dirumah B untuk melaksanakan aksinya, A telah mempersipkan segala sesuatu peralatan untuk mencuri, kemudian pada malam hari ia mendatangi rumah B. Sesampainya di rumah B, ia mematikan lampu teras, melepas kaca jendela dan baru saja A masuk rumah lewat jendela itu ia tertangkap. 

Apabila digunakan ukuran Van Hamel, maka dalam hal ini dikatakan sudah ada perbuatan pelaksanaan, tetapi menurut ukuran Simons baru merupakan perbuatan persiapan, karena belum mulai melakukan perbuatan seperti yang disebut dalam rumusan delik (pencurian : pasal 362 KUHP) yaitu “ mengambil barang “. Apabila A sudah mengambil barang dan pada saat itu ketahuan dan tertangkap, barulah dikatakan pada saat itu A telah melakukan perbuatan pelaksanaan yang oleh karenanya dapat dituntut telah melakukan percobaan pencurian. 

Contoh untuk delik materiil : 

A bermaksud membunuh B dengan meledakkan mobil yang dikendarainya dengan dinamit di suatu tempat yang dilalui B. A telah mempersiapkan dinamit dengan segala peralatan yang diperlukan dengan rapid an menunggu di samping saklar sampai B lewat ditempat itu. Apabila pada saat menunggu itu, gerak gerik A dicurigai dan akhirnya ditangkap, maka menurut ukuran Simons perbuatan A belum merupakan perbuatan pelaksanaan tetapi baru perbuatan persiapan, karena untuk meledakkan dinamit itu masih diperlukan perbuatan lain yaitu mengotakkan/menekan saklarnya. 



Dalam menentukan adanya permulaan/perbuatan pelaksanaan dalam delik percobaan Prof Moelyatno berpendapat bahwa ada dua factor yang harus diperhatikan, yaitu : 

1. Sifat atau inti dari delik percobaan, dan 

2. Sifat atau inti dari delik pada umumnya 

Mengingat kedua factor tersebut, maka menurut beliau perbuatan pelaksanaan harus memenuhi 3 syarat yaitu : 

i. Secara Obyektif, apa yang telah dilakukan terdakwa harus mendekatkan kepada delik/kejahatn yang dituju atau dengan kata lain, harus mengandung potensi untuk mewujudkan delik tersebut; 

ii. Secara Subyektif, dipandang dari sudut niat, harus tidak ada keraguan lagi bahwa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu ditujukan atau diarahkan pada delik/kejahatan yang tertentu tadi; 

iii. Bahwa apa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum. 





V. PERCOBAAN DALAM BEBERAPA YURISPRUDENSI 



Yurispridensi yang terkenal ialah Arrest HR tahun 1934 tentang Eindhoven. 



Kasus Posisi : H dituduh hendak membakar rumah R (dengan persetujuan R). 

Pada malam yang telah ditentukan H masuk kerumah R, menaruh pakaian dan barang-barang yang mudah terbakar di tiap kamar, yang semuanya dihubungkan satu sama lain dengan sumbu yang akhirnya dihubungkan pada kompor gas yang mengeluarkan api jika ditembakkan. Trekker (penarik pintol gas) diikatkan dengan tali dan melalui jendela, ujungnya digantungkan di luar rumah yang terletak di pinggir jalan kecil. Pakaian-pakaian itu disiram bensin dan jika orang berjalan di tepi jalan menarik talinya maka pistol gas mengeluarkan api dan menyalakan kompor gas dan selanjutnya akan merata keseluruh rumah. Setelah pemasangan pistol dan tali itu selesai, H menyingkirkan benda-benda ke tempat lain. Sementara itu, karena tertarik bau bensin banyak orang berpendapat di dekat tali itu, sehingga H tak mugkin menyelesaikan maksudnya. 



Terhadap kasus tersebut peradilan (gerechtshop) di Her-togenbosch menyatakan bahwa perbuatan H adalah perbuatan permulaan pelaksanaan dan dijatuhi pidana 4 tahun penjara karena melanggar pasal 53 jo 187 KUHP. 

H mengajukan kasasi dengan alasan bahwa Hof telah salah menafsirkan pasal 53 KUHP dan mengatakan bahwa apa yang dilakukannya baru merupakan perbuatan persiapan. Jaksa Agung Muda BEISER menyimpulkan bahwa perbuatan H baru merupakan perbuatan persiapan karena belum nyata-nyata merupakan pelaksanaan untuk melakukan pembakaran. 

Senada dengan konklusi Beiser, HOGE RAAD berpendapat bahwa perbuatan H baru merupakan perbuatan persiapan, karena belum merupakan perbuatan yang sangat diperlukan untuk pembakaran yang telah diniatkan, ialah yang tidak dapat tidak menuju kearah dan langsung berhubungan dengan kejahatan yang dituju dan juga menurut pengalaman nyata-nyata menuju pembakaran, tanpa sesuatu perbuatan lain dari si pembuat. Atas dasar alasan ini HR membatalkan putusan Hof dan H dilepaskan dari segala tuntutan. 



Apabila kasus dan putusan pengadilan di atas dihubungkan pendapat para Sarjana yang telah dikemukakan di atas, maka terlihat bahwa : 

- Konklusi Beiser dan terutama pendapat HR, lebih cocok dengan teori atau pendapat Simons (Teori Obyektif Materiil); 

- Putusan Hof, lebih sesuai dengan teori atau pendapat Duynstee (Teori Obyetif Formil) 

Terhadap putusan HR tersebut, DUYNSTEE sendiri menulis bahwa menurut pendapatnya terdakwa H telah mulai dengan perbuatan pelaksanaan pembakaran. Alasan yang dikemukakannya ialah : 

a. Semua perbuatan terdakwa (H) saling berhubungan dan memenuhi rumusan delik; 

b. Jika HR menganggap perbuatan pelaksanaan yaitu perbuatan yang menimbulkan kejahatan (akibat) tanpa adanya perbuatan lain, berarti jika tiap perbuatan pelaksanaan akan menimbulkan akibat terlarang, maka perbuatan pelaksanaan hanya ada percobaan lengkap saja, ini tidak tepat karena di dalam teori dikenal juga adanya percobaan yang tidak lengkap. 



Mengenai kasus diatas, Prof. Moelyatno mengemukakan pendapatnya sbb : 

“Kalau perkara pembakaran di Eindhoven ditinjau dengan ukuran yang saya sarankan, maka mengenai syarat pertama tidak perlu diragukan adanya. Secara potensiil apa yang telah dilakukan terdakwa mendekatkan kepada kejahatan yang dituju. Juga mengenai syarat yang kedua yaitu bahwa yang dituju itu menimbulkan kebakaran, telah wajar. Tinggal syarat yang ketiga, yaitu apakah yang telah dilakukan itu sudah bersifat melawan hukum ? Kalau diingat bahwa rumah itu di diami orang lain di waktu orangnya tidak ada, hemat saya adalah perbuatan yang melanggar hukum. Jadi karena tiga-tiganya syarat sudah dipenuhi, hemat saya putusan yang yang diberikan oleh Hof’s Hertogenbosch adalah tepat. Terdakwa telah melakukan delik percobaan pembakaran seperti yang ditentukan dalam pasal 53 juncto pasal 187 KUHP”. 



IV.3. Pelaksanaan tidak selesai bukan semata-mata karena kehendak pelaku sendiri. 



Tidak selesainya pelaksanaan kejahatan yang dituju bukankarena kehendak sendiri, dapat terjadi dalam hal-hal sbb : 

a. Adanya penghalang fisik; 

Misal : tidak matinya orang yang ditembak, karena tangannya disentakkan orang sehingga tembakan menyimpang atau pistol terlepas. Termasuk dalam pengertian penghalang fisik ini ialah apabila adanya kerusakan pada alat yang digunakan (misal : pelurunya macet / tidak meletus, bom waktu yang jamnya rusak). 

b. Walaupun tidak ada penghalang fisik, tetapi tidak selesainya itu disebabkan karena akan adanya penghalang fisik. 

Misal : takut segera ditangkap karena gerak geriknya untuk mencuri telah diketahui oleh orang lain. 

c. Adanya penghalang yang disebabkan oleh factor-faktor / keadaan-keadaan khusus pada obyek yang menjadi sasaran. 

Misal : daya tahan orang yang ditembak cukup kuat sehingga tidak mati atau yang tertembak bagian yang tidak membahayakan, barang yang kan dicuri terlalu berat walaupun si pencuri telah berusaha mengangkatnya sekuat tenaga. 



Dalam hal tidak selesainya perbuatan itu karena kehendak sendiri, maka dalam hal ini dikatakan ada pengunduran diri sukarela, sering dirumuskan bahwa ada pengnduran diri sukarela, apabila menurut pandangan terdakwa, ia masih dapat meneruskannya, tetapi ia tidak mau meneruskannya. 

Tidak selesainya perbuatan karena kehendak sendiri, secara teori dapat dibedakan antara : 

Ø Pengunduran diri secara sukarela (Rucktritt) yaitu tidak menyelesaikan perbuatan pelaksanaan yang diperlukan untuk delik yang bersangkutan; 

Ø Tindakan penyesalan (Tatiger Reue) yaitu meskipun perbuatan pelaksanaan sudah diselesaikan, tetapi dengan sukarela menghalau timbulnya akibat mutlak delik tersebut. 

Misal : Orang member racun pada minuman si korban, tetapi setelah diminumnya, ia segera memberikan obat penawar racun sehingga si korban tidak jadi meninggal. 



Sehubungan dengan masalah pengunduran diri sukarela ini, maka menurut M.v.T maksud dicantumkannya unsur ke-3 ini dalam pasal 53 KUHP ialah : 

§ Untuk menjamin supaya orang yang dengan kehendaknya sendiri secara sukarela mengrungkan kejahatan yang telah dimulai tetapi belum terlaksana, tidak dipidana; 

§ Pertimbangan dari segi kemanfaatan (utilitas), bahwa usaha yang paling tepat (efektif) untuk mencegah timbulnya kejahatan ialah menjamin tidak dipidananya orang yang telah mulai melakukan kejahatan tetapi kemudian dengan sukarela mengurungkan pelaksanaannya. 

Dengan adanya penjelasan MvT tersebut, maka ada pendapat bahwa unsur ketiga ini merupakan : 

v Alasan pengahpus pidana yang diformulir sebagai unsur (Pompe). 

v Alasan pemaaf (van Hattum, Seno Adji). 

v Alasan pengahpusan penuntutan (Vos, Moelyatno). 



Prof. Moelyatno tidak setuju dengan pendapat yang menyatakan unsur ke-3 ini sebagai alasan pemaaf (fait d’ex-cuse) maupun sebagai alasan pengahpus pidana, sebab perbuatannya tetap tidak baik (yang baik adalah tidak mencoba sama sekali) sehingga tidak ada alasan untuk memaafkan ataupun membenarkan. Menurut beliau dengan tidak dituntutnya terdakwa, diberi stimulans bagi orang-orang lain yang mempunyai niat melakukan kejahatan, untuk ditengah-tengah mengundurkan diri secara sukarela. Jadi ada pertimbangan utilitas. Dalam pengunduran sukarela (dan tindakan penyesalan/Tatiger Reue), tidak ada fait d’excuxe karena sifat tak baik perbuatan maupun kesalahn tetap ada, tetapi tidak dituntutnya itu karena dipandang lebuh berguna bagi masyarakat, seprti halnya dirumuskan pada pasal 367 (1) KUHP (pencurian antara suami-istri). Pertimbangan utilitas lain dikemukakan beliau ialah untuk menghemat tenaga dan biaya. Walaupun Prof. Moelyatno memandang unsur ke-3 ini sebagai alasan penghapusan penuntutan, namun beliau tidak berkeberatan untuk menuntut orang yang secara sukarela telah mengurngkan niatnya itu apabila telah menimbulkan kerugian, dan pidananya dikurangi menurut kebijaksanaan Hakim. 



Mengenai konsekwensi adanya unsur ke-3 dalam perumusan pasal 53 KUHP ini, ada dua pendapat : 

a. Mempunyai konsekuensi materiil 

Artinya unsur ketiga ini merupakan unsur yang melekat pada percobaan, jadi bersifat accessoir (tidak berdiri sendiri). Dengan perkataan lain, untuk adanya percobaan unsur ke-3 ini (tidak selesainya pelaksanaan perbuatan bukan karena kehendak sendiri) harus ada. Ini berarti apabila ada pengunduran diri secara sukarela, maka tidak ada percobaan. Pendapat serupa ini terlihat dalam putusan Hoge Raad tanggal 17 Juni 1889 tentang kasus sumpah palsu. 

Dalam kasus ini ada tanda-tanda bahwa saksi yang dihadapkan ke persidangan diatas sumpah telah meberikan keterangan yang bertentangan dengan kenyataan (kesaksian palsu). Setelah Jaksa dan Hakim memperingatkan bahwa ia akan dituntut sumpah palsu, maka saksi tersebut mencabut kembali keterangan palsunya itu. Apakah saksi dapat dipidana karena percobaan sumpah palsu? 

HR dalam putusannya berpendapat bahwa saksi itu tidak dapat dipidana melakukan percobaan sumpah palsu karena dalam hal ini ada pengunduran diri secara sukarela. Begitu pula si penganjur tidak dapat dipidana karena adanya pengunduran diri itu perbuatannya (saksi) tidak merupakan perbuatan terlarang. 



b. Mempunyai konsekwensi formil (dibidang processuil) 

Artinya unsur ke-3 itu dicantumkan dalam pasal 153 maka unsur tersebut harus disebutkan didalam surat tuduhan dan dibuktikan. Menurut pendapat ini, unsur ke-3 ini tidak merupakan unsur yang melekat pada percobaan, jadi tidak bersifat accessoir, ia merupakan unsur yang berdiri sendiri. Dengan perkataan lain, walaupun unsur ini tidak ada (yaitu karena adanya pengunduran diri secara sukarela) maka percobaan tetap dipandang ada. Jadi dalam kasus yang dikemukakan diatas, meskipun ada pengunduran diri secara sukarela, perbuatannya tetap dipandang sebagai perbuatan terlarang dan soal dipidana tidaknya si pembuat maupun si penganjur adalah masalah pertanggunganjawab. 

Dalam kasus diatas si pembuat (saksi) tidak dipidana karena (menurut HR) disitu ada pengunduran diri secara sukarela, sedangkan sipenganjur tetap dapat dipidana karena telah menganjurkan suatu perbuatan yang terlarang. Jadi pendapat kedua ini membedakan antara perbuatan yang dapat dipidana (criminal act) dan pertanggung jawaban pidana (criminal responsibility). 

ADS HERE !!!

Newer Post
Older Post
Home
Subscribe to: Post Comments (Atom)

Popular Posts

  • CODIPRONT (Codeine, Phenyltoloxamine)
    CODIPRONT (Codeine, Phenyltoloxamine)  Obat batuk dengan efek jangka panjang 10 – 12 jam  KOMPOSISI  Codipront Kapsul  Tiap Kapsul mengandun...
  • GARAMYCIN Krim, Salep (Gentamicin Sulfate)
    GARAMYCIN Krim, Salep (Gentamicin Sulfate)  Obat Generik : Gentamicin / Gentamisin Sulfat Obat Bermerek : Balticin, Bioderm, Dermabiotik, De...
  • Jenis - Jenis Obat Kortikosteroid
    Obat Kortikosteroid  Oradexon Tablet dan Injeksi ORADEXON Tablet, Suntik (Dexamethasone / Deksametason) Obat Generik : Dexamethasone...
  • BACTROBAN Krim / Salep Kulit (Mupirocin)
    Nama Obat Generik : Mupirocin / Mupirosin  Nama Obat Bermerek : Bactroban  KOMPOSISI / KANDUNGAN  Tiap 1 gram Bactroban Krim mengandung Mupi...
  • Contoh Latar Belakang Manajemen
    A.     Latar Belakang Manajemen  Sesungguhnya mulai kapan teori manajemen itu ada? Yaitu mulai sejak para pelaku usaha berkecimpung memi...
My Ping in TotalPing.com
My Ping in TotalPing.com

Labels

  • Cara Mengatasi Penyakit
  • Dunia Kesehatan
  • Hukum pidana
  • Manajemen

Popular Posts

  • CODIPRONT (Codeine, Phenyltoloxamine)
    CODIPRONT (Codeine, Phenyltoloxamine)  Obat batuk dengan efek jangka panjang 10 – 12 jam  KOMPOSISI  Codipront Kapsul  Tiap Kapsul mengandun...
  • GARAMYCIN Krim, Salep (Gentamicin Sulfate)
    GARAMYCIN Krim, Salep (Gentamicin Sulfate)  Obat Generik : Gentamicin / Gentamisin Sulfat Obat Bermerek : Balticin, Bioderm, Dermabiotik, De...

Pages

  • Home
Copyright © 2015 Tujuan I - Pendidikan Online . All rights reserved. My Notes Template. Simple Default Template edited by RT Media ™. Powered by Login