Pengelolaan keuangan daerah harus dipercayakan kepada staf yang memiliki integritas dan kejujuran yang tinggi, sehingga kesempatan untuk korupsi dapat diminimalkan.
Transparansi
Transparansi adalah keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD dan masyarakat. Transparansi pengelolaan keuangan daerah pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountability antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya sehingga tercipta pemerintahan daerah yang bersih, efektif, efisien, akuntabel, dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat.
Pengendalian
Penerimaan dan pengeluaran daerah (APBD) harus selalu dimonitor, yaitu dibandingkan antara yang dianggarkan dengan yang dicapai. Untuk itu perlu dilakukan analisis varians (selisih) terhadap penerimaan dan pengeluaran daerah agar dapat sesegera mungkin dicari penyebab timbulnya varians dan tindakan antisipasi ke depan.
Prinsip-prinsip yang mendasari pengelolaan keuangan daerah tersebut harus senantiasa dipegang teguh dan dilaksanakan oleh penyelenggara pemerintahan, karena pada dasarnya masyarakat (publik) memiliki hak dasar terhadap pemerintah, yaitu:
1. Hak untuk mengetahui (right to know), yaitu:
- Mengetahui kebijakan pemerintah.
- Mengetahui keputusan yang diambil pemerintah.
- Mengetahui alasan dilakukannya suatu kebijakan dan keputusan tertentu.
2. Hak untuk diberi informasi (right to be informed) yang meliputi hak untuk diberi penjelasan secara terbuka atas permasalahan-permasalahan tertentu yang menjadi perdebatan publik.
3. Hak untuk didengar aspirasinya (right to be heard and to be listened to).
Dalam upaya pemberdayaan pemerintah daerah, maka perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah adalah sebagai berikut:
1. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik (public oriented). Hal ini tidak saja terlihat pada besarnya porsi pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat pada besarnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan/pengendalian keuangan daerah.
2. Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan anggaran daerah pada khususnya.
3. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran para partisipan yang terkait dalam pengelolaan anggaran, seperti DPRD, KDH, Sekda dan perangkat daerah lainnya.
4. Kerangka hukum dan administrasi bagi pembiayaan, investasi, dan pengelolaan uang daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for money, transparansi dan akuntabilitas.
5. Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, KDH, dan PNS-Daerah, baik ratio maupun dasar pertimbangannya.
6. Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja, dan anggaran multi-tahunan.
7. Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih profesional.
8. Standar dan sistem akuntansi keuangan daerah, laporan keuangan, peran akuntan independen dalam pemeriksaan, pemberian opini dan rating kinerja anggaran, dan transparansi informasi anggaran kepada publik.
9. Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran asosiasi, dan peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme aparat pemerintah daerah.
10. Pengembangan sistem informasi keuangan daerah untuk menyediakan informasi anggaran yang akurat dan pengembangan komitmen pemerintah daerah terhadap penyebarluasan informasi sehingga memudahkan pelaporan dan pengendalian, serta mempermudahkan mendapatkan informasi.
Secara lebih spesifik, paradigma anggaran daerah yang diperlukan di era otonomi daerah adalah sebagai berikut:
1. Anggaran Daerah harus bertumpu pada kepentingan publik.
2. Anggaran Daerah harus dikelola dengan hasil yang baik dan biaya rendah (work better and cost less).
3. Anggaran Daerah harus mampu memberikan transparansi dan akuntabilitas secara rasional untuk keseluruhan siklus anggaran.
4. Anggaran Daerah harus dikelola dengan pendekatan kinerja (performance oriented) untuk seluruh jenis pengeluaran maupun pendapatan.
5. Anggaran Daerah harus mampu menumbuhkan profesionalisme kerja di setiap organisasi yang terkait.
6. Anggaran Daerah harus dapat memberikan keleluasaan bagi para pelaksananya untuk memaksimalkan pengelolaan dananya dengan memperhatikan prinsip value for money.
PUSAT PERTANGGUNGJAWABAN SEBAGAI UPAYA PENGENDALIAN MANAJEMEN
Untuk mendukung kelancaran operasional pemerintahan, perlu didisain sistem pengendalian manajemen yang baik. Sistem pengendalian manajemen harus didukung dengan struktur organisasi yang baik. Pusat pertanggungjawaban (responsibility centers) merupakan salah satu bentuk struktur organisasi yang dapat diterapkan di pemerintah daerah. Pusat pertanggungjawaban adalah unit organisasi yang dipimpin oleh manajer (pimpinan) yang bertanggungjawab terhadap aktivitas pusat pertanggungjawaban yang dipimpinnya. Suatu organisasi merupakan kumpulan dari berbagai pusat pertanggungjawaban. Secara umum, tujuan dibuatnya pusat-pusat pertanggungjawaban adalah (Mardiasmo, 2002):
1. Sebagai basis perencanaan, pengendalian, dan penilaian kinerja manajer dan unit organisasi yang dipimpinnya;
2. Untuk memudahkan mencapai tujuan organisasi;
3. Memfasilitasi terbentuknya goal congruence;
4. Mendelegasikan tugas dan wewenang ke unit-unit yang memiliki kompetensi sehingga mengurangi beban tugas manajer pusat;
5. Mendorong kreativitas dan daya inovasi bawahan;
6. Sebagai alat untuk melaksanakan strategi organisasi secara efektif dan efisien;
7. Sebagai alat pengendalian anggaran.
Tanggung jawab manajer pusat pertanggungjawaban adalah untuk menciptakan hubungan yang optimal antara sumber daya input yang digunakan dengan output yang dihasilkan dikaitkan dengan target kinerja. Input diukur dengan jumlah sumber daya yang digunakan, sedangkan output diukur dengan jumlah produk/output yang dihasilkan.
Pada dasarnya terdapat empat jenis pusat pertanggungjawaban, yaitu: Pusat biaya (expense center), pusat pendapatan (revenue center), pusat laba (profit center), dan pusat investasi (investment center).
Pemerintah daerah dapat dianggap sebagai suatu pusat pertanggungjawaban. Pusat pertanggungjawaban besar tersebut dapat dipecah-pecah lagi menjadi pusat-pusat pertanggungjawaban yang lebih kecil hingga pada level pelayanan atau program, misalnya dinas dan subdinas. Pusat-pusat pertanggungjawaban tersebut kemudian menjadi dasar untuk perencanaan dan pengendalian anggaran serta penilaian kinerja pada unit yang bersangkutan.
Manajer pusat pertanggungjawaban, sebagai budget holder, memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan anggaran. Pusat pertanggungjawaban memperoleh sumber daya input berupa tenaga kerja, material, dan sebagainya yang dengan input tersebut diharapkan dapat menghasilkan output dalam bentuk barang atau pelayanan pada tingkat kuantitas dan kualitas tertentu. Anggaran mencerminkan nilai rupiah dari input yang dialokasikan ke pusat-pusat pertanggungjawaban dan output yang diharapkan atau level aktivitas yang dihasilkan. Pengendalian anggaran meliputi pengukuran terhadap output dan belanja yang riil dilakukan dibandingkan dengan anggaran. Adanya perbedaan atau varians antara hasil yang dicapai dengan yang dianggarkan kemudian dianalisis untuk diketahui penyebabnya dan dicari siapa yang bertanggungjawab atas terjadinya varians tersebut, sehingga dapat segera dilakukan tindakan korektif.
Idealnya, struktur pusat pertanggungjawaban sebagai alat pengendalian anggaran sejalan dengan program atau struktur aktivitas organisasi. Dengan perkataan lain, tiap-tiap pusat pertanggungjawaban bertugas untuk melaksanakan program atau aktivitas tertentu, dan penggabungan program-program dari tiap-tiap pusat pertanggungjawaban tersebut seharusnya mendukung program pusat pertanggungjawaban pada level yang lebih tinggi, sehingga pada akhirnya tujuan umum organisasi dapat tercapai.
PENYAJIAN INFORMASI AKUNTANSI PEMERINTAH DAERAH UNTUK MENINGKATKAN TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS PUBLIK
Salah satu alat untuk memfasilitasi terciptanya transparansi dan akuntabilitas publik adalah melalui penyajian Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang komprehensif. Dalam era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah diharapkan dapat menyajikan laporan keuangan yang terdiri atas Laporan Perhitungan APBD (Laporan Realisasi Anggaran), Nota Perhitungan APBD, Laporan Aliran Kas, dan Neraca. Laporan keuangan tersebut merupakan komponen penting untuk menciptakan akuntabilitas sektor publik dan merupakan salah satu alat ukur kinerja finansial pemerintah daerah. Bagi pihak eksternal, Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang berisi informasi keuangan daerah akan digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk pengambilan keputusan ekonomi, sosial, dan politik. Sedangkan bagi pihak intern pemerintah daerah, laporan keuangan tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk penilaian kinerja.
Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, tantangan yang dihadapi akuntansi sektor publik adalah menyediakan informasi yang dapat digunakan untuk memonitor akuntabilitas pemerintah daerah yang meliputi akuntabilitas finansial (financial accountability), akuntabilitas manajerial (managerial accountability), akuntabilitas hukum (legal accountability), akuntabilitas politik (political accountability), dan akuntabilitas kebijakan (policy accountability). Akuntansi sektor publik memiliki peran utama untuk menyiapkan laporan keuangan sebagai salah satu bentuk pelaksanaan akuntabilitas publik.
Secara garis besar, tujuan umum penyajian laporan keuangan oleh pemerintah daerah adalah:
1. Untuk memberikan informasi yang digunakan dalam pembuatan keputusan ekonomi, sosial, dan politik serta sebagai bukti pertanggungjawaban (accountability) dan pengelolaan (stewardship);
2. Untuk memberikan informasi yang digunakan untuk mengevaluasi kinerja manajerial dan organisasional.
Secara khusus, tujuan penyajian laporan keuangan oleh pemerintah daerah adalah:
1. Memberikan informasi keuangan untuk menentukan dan memprediksi aliran kas, saldo neraca, dan kebutuhan sumber daya finansial jangka pendek unit pemerintah;
2. Memberikan informasi keuangan untuk menentukan dan memprediksi kondisi ekonomi suatu unit pemerintahan dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya;
3. Memberikan informasi keuangan untuk memonitor kinerja, kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan, kontrak yang telah disepakati, dan ketentuan lain yang disyaratkan;
4. Memberikan informasi untuk perencanaan dan penganggaran, serta untuk memprediksi pengaruh pemilikan dan pembelanjaan sumber daya ekonomi terhadap pencapaian tujuan operasional;
5. Memberikan informasi untuk mengevaluasi kinerja manajerial dan organisasional:
a. untuk menentukan biaya program, fungsi, dan aktivitas sehingga memudahkan analisis dan melakukan perbandingan dengan kriteria yang telah ditetapkan, membandingkan dengan kinerja periode-periode sebelumnya, dan dengan kinerja unit pemerintah lain;
b. untuk mengevaluasi tingkat ekonomi dan efisiensi operasi, program, aktivitas, dan fungsi tertentu di unit pemerintah;
c. untuk mengevaluasi hasil suatu program, aktivitas, dan fungsi serta efektivitas terhadap pencapaian tujuan dan target;
d. untuk mengevaluasi tingkat pemerataan (equity).
REINVENTING GOVERNMENT: Model Pemerintah Daerah Masa Depan
Pemberian otonomi daerah akan mengubah perilaku pemerintah daerah untuk lebih efisien dan profesional. Untuk itu, pemerintah daerah perlu melakukan perekayasaan ulang terhadap birokrasi yang selama ini dijalankan (bureaucracy reengineering). Hal tersebut karena pada saat ini dan di masa yang akan datang pemerintah (pusat dan daerah) akan menghadapi gelombang perubahan baik yang berasal dari tekanan eksternal maupun dari internal masyarakatnya.
Dari sisi eksternal, pemerintah akan menghadapi globalisasi yang sarat dengan persaingan dan liberalisme arus informasi, investasi, modal, tenaga kerja, dan budaya. Di sisi internal, pemerintah akan mengahadapi masyarakat yang semakin cerdas (knowledge based society) dan masyarakat yang semakin banyak tuntutannya (demanding community).
Shah (1997) meramalkan bahwa pada era seperti ini, ketika globalization cascade sudah semakin meluas, pemerintah (termasuk pemerintah daerah) akan semakin kehilangan kendali pada banyak persoalan, seperti pada perdagangan internasional, informasi dan ide, serta transaksi keuangan. Di masa depan, negara menjadi terlalu besar untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan kecil tetapi terlalu kecil untuk dapat menyelesaikan semua masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Pendapat yang tidak jauh berbeda juga disampaikan oleh sejumlah ilmuwan di bidang manajemen dan administrasi publik seperti Osborne dan Gaebler (1992) dengan konsepnya “reinventing government”.
Perspektif baru pemerintah menurut Osborne dan Gaebler tersebut adalah:
1. Pemerintahan katalis: fokus pada pemberian pengarahan bukan produksi pelayanan publik
Pemerintah wirausaha memfokuskan diri pada pemberian arahan, sedangkan produksi pelayanan publik diserahkan pada pihak swasta dan/atau sektor ketiga (lembaga swadaya masyarakat dan nonprofit lainnya). Pemerintah hanya memproduksi pelayanan publik yang belum dapat dilakukan oleh pihak non-pemerintah.
2. Pemerintah milik masyarakat: memberdayakan masyarakat daripada melayani
Pemerintah memberikan wewenang kepada (memberdayakan) masyarakat sehingga mereka mampu menjadi masyarakat yang dapat menolong dirinya sendiri (self-help community). Sebagai misal, untuk dapat lebih mengembangkan usaha kecil, pemerintah memberikan wewenang yang optimal pada asosiasi pengusaha kecil untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi.
3. Pemerintah yang kompetitif: menyuntikkan semangat kompetisi dalam pemberian pelayanan publik
Pemerintah wirausaha berusaha menciptakan kompetisi karena ompetisi adalah satu-satunya cara untuk menghemat biaya sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan. Dengan kompetisi, banyak pelayanan publik yang dapat ditingkatkan kualitasnya tanpa harus memperbesar biaya.
4. Pemerintah yang digerakkan oleh misi: mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan menjadi organisasi yang digerakkan oleh misi
Apa yang dapat dan tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah diatur dalam mandatnya. Namun tujuan pemerintah bukanlah mandatnya tetapi misinya.
5. Pemerintah yang berorientasi pada hasil: membiayai hasil bukan masukan
Pemerintah wirausaha berusaha mengubah bentuk penghargaan dan insentif dengan cara membiayai hasil dan bukan masukan. Pemerintah mengembangkan suatu standar kinerja yang mengukur seberapa baik suatu unit kerja mampu memecahkan permasalahan yang menjadi tanggungjawabnya. Semakin baik kinerjanya, semakin banyak pula dana yang akan dialokasikan untuk mengganti semua dana yang telah dikeluarkan oleh unit kerja tersebut.
6. Pemerintah berorientasi pada pelanggan: memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi
Pemerintah wirausaha akan berusaha mengidentifikasikan pelanggan yang sesungguhnya. Dengan cara seperti ini, tidak berarti bahwa pemerintah tidak bertanggungjawab pada dewan legislatif, tetapi sebaliknya, ia menciptakan sistem pertangungjawaban ganda (dual accountability): kepada legislatif dan masyarakat.
7. Pemerintahan wirausaha: mampu menciptakan pendapatan dan tidak sekedar membelanjakan
Pemerintah daerah wirausaha dapat mengembangkan beberapa pusat pendapatan dari proses penyediaan pelayanan publik, misalnya: BPS dan Bappeda, yang dapat menjual informasi tentang daerahnya kepada pusat-pusat penelitian; BUMN/BUMD; pemberian hak guna usaha yang menarik kepada para pengusaha dan masyarakat; penyertaan modal; dan lain-lain.
8. Pemerintah antisipatif: berupaya mencegah daripada mengobati
Pemerintah wirausaha tidak reaktif tetapi proaktif. Pemerintah tidak hanya mencoba untuk mencegah masalah, tetapi juga berupaya keras untuk mengantisipasi masa depan melalui perencanaan strategisnya.
9. Pemerintah desentralisasi: dari hierarkhi menuju partisipatif dan tim kerja
Pemerintah wirausaha memberikan kesempatan pada masyarakat, asosiasi-asosiasi, pelanggan, dan lembaga swadaya masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan.
10. Pemerintah berorientasi pada (mekanisme) pasar: mengadakan perubahan dengan mekanisme pasar (sistem insentif) dan bukan dengan mekanisme administratif (sistem prosedur dan pemaksaan)
Pemerintah wirausaha menggunakan mekanisme pasar sebagai dasar untuk alokasi sumberdaya yang dimilikinya. Pemerintah wirausaha tidak memerintahkan dan mengawasi tetapi mengembangkan dan menggunakan sistem insentif agar orang tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang merugikan masyarakat.
Reinventing government memang merupakan konsep yang monumental, akan tetapi tanpa diikuti dengan perubahan-perubahan lain seperti dilakukannya bureaucracy reengineering, rightsizing, dan perbaikan mekanisme reward and punishment, maka konsep reinventing government tidak akan dapat mengatasi permasalahan birokrasi selama ini. Penerapan konsep reinventing government membutuhkan arah yang jelas dan political will yang kuat dari pemerintah dan dukungan masyarakat. Selain itu, yang terpenting adalah adanya perubahan pola pikir dan mentalitas baru di tubuh birokrasi pemerintah itu sendiri karena sebaik apapun konsep yang ditawarkan jika semangat dan mentalitas penyelenggara pemerintahan masih menggunakan paradigma lama, konsep tersebut hanya akan menjadi slogan kosong tanpa membawa perubahan apa-apa.
OPTIMALISASI PENGAWASAN DAN PEMERIKSAAN UNTUK MENDORONG TERCAPAINYA TUJUAN OTONOMI DAERAH
Pemberian otonomi daerah seluas-luasnya berarti pemberian kewenangan dan keleluasaan (diskresi) kepada daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya daerah secara optimal. Agar tidak terjadi penyimpangan dan penyelewengan, pemberian wewenang dan keleluasaan yang luas tersebut harus diikuti dengan pengawasan yang kuat. Penguatan fungsi pengawasan dapat dilakukan melalui optimalisasi peran DPRD sebagai kekuatan penyeimbang (balance of power) bagi eksekutif daerah dan partisipasi masyarakat secara langsung maupun tidak langsung melalui LSM dan organisasi sosial kemasyarakatan di daerah (social control).
Pengawasan oleh DPRD tersebut harus sudah dilakukan sejak tahap perencanaan, tidak hanya pada tahap pelaksanaan dan pelaporan saja sebagaimana yang terjadi selama ini. Hal ini penting karena dalam era otonomi, DPRD memiliki kewenangan untuk menentukan Arah dan Kebijakan Umum APBD. Apabila DPRD lemah dalam tahap perencanaan (penentuan Arah dan Kebijakan Umum APBD), maka dikhawatirkan pada tahap pelaksanaan akan mengalami banyak penyimpangan. Akan tetapi harus dipahami oleh anggota DPRD bahwa pengawasan terhadap eksekutif daerah hanyalah pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan (policy) yang digariskan bukan pemeriksaan. Fungsi pemeriksaan hendaknya diserahkan kepada lembaga pemeriksa yang memiliki otoritas dan keahlian profesional, misalnya BPK, BPKP, atau akuntan publik yang independen. Dewan dapat meminta BPK atau auditor independen lainnya untuk melakukan pemeriksaan terhadap kinerja keuangan eksekutif.
Untuk memperkuat fungsi pengawasan, DPRD bisa membentuk badan ombudsmen yang berfungsi sebagai pengawas independen untuk mengawasi jalannya suatu lembaga publik. Namun untuk fungsi pemeriksaan tetap harus dilakukan oleh badan yang memiliki otoritas dan keahlian profesional. Hal tersebut agar DPRD tidak disibukkan dengan urusan-urusan teknis semata, sehingga Dewan dapat lebih berkonsentrasi pada permasalahan-permasalahan yang bersifat kebijakan.