Bahan Pangan
Di dunia yang kompetitif dan berkorporasi saat ini, minyak sawit telah menjadi subyek dari banyaknya publisitas negatif mengenai kualitas kesehatan dan kepentingannya sebagai sumber makanan. Minyak yang bisa di makan adalah bagian penting dari pola makan manusia, tetapi bagaimana dengan tingkat kolesterolnya? Konsumsi kolesterol telah menjadi ’kata kotor’ dalam masyarakat kita saat ini, tetapi hal itu terkadang disalah mengerti. Saat orang mengasup kolesterol, kebanyakan adalah dari sumber hewani, seperti ayam, daging sapi, dan sebagainya, sementara makanan nabati, termasuk minyak dan lemak, kebanyakan bebas kolesterol. Sayangnya, manusia tak terlalu baik dalam menyerap kolesterol sebagai bagian dari pola makan kita, walaupun kolesterol diproduksi di hati, dan beredar di dalam darah (John et al, 2007).
Tingkat kolesterol darah dapat dibagi ke dalam dua kelompok, kolesterol jahat (LDL) dan kolesterol baik (HDL). Penyeimbangan HDL terhadap LDL inilah yang mengurangi risiko penyakit jantung. Minyak dan lemak terutama terdiri dari lemak jenuh, lemak tak jenuh tunggal, dan asam lemak tak jenuh ganda, dan biasanya lemak jenuh ini menaikkan tingkat kolesterol darah di dalam tubuh. Untungnya, minyak sawit punya komposisi asam lemak yang seimbang. Hasil riset ekstensif membuktikan bahwa ia punya efek netral pada kolesterol darah (Grundy, 1986; Yu et al, 1995; Kris-Etherton et al, 1999). Minyak sawit seperti halnya minyak zaitun, telah ditemukan tidak meningkatkan LDL darah (Choudhury et al, 1995; Ng et al, 1992; French et al, 2002). Selain itu, minyak sawit diduga juga dapat menjadi pencegah aritmia jantung (Charnock et al, 1991). dan sintesis eikosanoid (Abeywardena et al, 1991). Kandungan tocotrienol dalam minyak sawit selain memberikan vitamin E, juga menurunkan resiko stroke dan serangan jantung serta diduga dapat mencegah kematian sel otak terprogram (MOSTI, 2011).
Karena keunggulannya, di seluruh dunia, minyak sawit mengisi lebih dari sepertiganya (35%) dari konsumsi minyak nabati manusia di dunia yang mencapai sekitar 131,72 juta ton minyak dan lemak nabati per tahun (USDA, 2009). Di rak-rak supermarket saat ini, minyak sawit bisa ditemukan pada sekitar satu dari sepuluh produk (Hariyadi, 2010). Minyak ini ada di semua hal, mulai dari es krim hingga margarin, produk kue, roti, biskuit, cokelat, dan makanan beku, hingga sabun, bahan pelumas bahkan kosmetik (Parveez et al, 2004). Namun, tak semua produk ini secara spesifik mencatat minyak sawit sebagai unsur ramuan, karena minyak sawit bersama dengan pesaingnya, sering hanya disebut sebagai minyak sayur (Green Peace, 2007).
Peningkatan Kekayaan
Pembudidayaan minyak sawit selama abad terakhir telah membawa peningkatan kekayaan yang besar pada negara-negara produsen secara keseluruhan, khususnya bagi pedesaan miskin. Contohnya di Malaysia, rancangan FELDA didirikan pada akhir tahun 1950-an, dan pendapatan pekerja di industri minyak sawit sekarang setidaknya tiga kali lebih tinggi dari pada tingkat kemiskinan (Mehmet, 1986). Saat ini, orang-orang ini mampu memiliki perumahan yang layak, memberi makan keluarga mereka dengan nyaman dan sekarang bisa mengirim anak-anak mereka ke sekolah dan universitas, kesempatan yang tak bisa dinikmati oleh generasi sebelumnya.
Di Indonesia, hal yang kurang lebih sama juga terjadi. Salah satu sumber pendapatan utama untuk Indonesia adalah dari tanah pertaniannya. Jika Anda ambil kemampuan negara ini menggunakan tanah tersebut untuk keuntungan masyarakatnya, maka Anda akan dituduh bertindak terlalu jauh. Tentu saja, yang kaya semakin kaya dalam ledakan ekonomi ini, tapi juga pembagian pendapatan akan lebih baik tentunya, dan penting untuk diperhatikan bahwa tanpa industri pertanian ini, orang-orang miskin di pedesaan Asia Tenggara takkan melihat standar kehidupan mereka membaik seperti yang mereka punya hari ini. Selama bertahun-tahun, pembudidayaan minyak sawit telah meningkat secara signifikan di sepanjang wilayah, seraya permintaan naik, dan saat ini ia sangat mendominasi dari tanaman penghasil uang lainnya, seperti karet dan coklat.
Bahan Bakar Nabati
Meski industri bahan bakar nabati masih relatif baru dan risetnya sedang berjalan, orang-orang akan membutuhkan sumber bahan bakar lain, karena permintaan planet ini untuk energi semakin besar sementara sumber bahan bakar fosil semakin menipis. Sementara populasi manusia telah meningkat sekitar 50% pada 50 tahun terakhir, konsumsi energi lebih besar dari sekedar dua kali lipatnya (US Census Bureau, 2010; British Petroleum, 2009). Di atas semua itu, sebanyak 80-90 % dari permintaan energi dunia berasal dari sumber fosil yang tak dapat diperbaharui dan menghasilkan gas rumah kaca (British Petroleum, 2006). Industri perminyakan, diantaranya telah melakukan yang terbaik untuk membingungkan masyarakat. Menurut artikel baru-baru ini di New York Times, bahwa untuk menang, yang harus mereka lakukan hanyalah menciptakan banyak kebingungan untuk mengumpulkan kekhawatiran publik, dan menunda tindakan pemerintah (Friedman, 2010). Namun, sesuatu yang sangat jelas hampir semua ilmuwan setuju bahwa peningkatan gas rumah kaca di atmosfer telah berkontribusi secara signifikan terhadap pemanasan global.
Bila bahan bakar fosil adalah mengambil karbon yang tersimpan dalam tanah sebagai batu bara dan minyak bumi, maka bahan bakar nabati langsung mengambil karbon dari saat tanaman hidup. Kelebihan yang diperoleh dari penggunaan langsung ini adalah produksinya yang dapat dikendalikan manusia, tidak seperti bahan bakar yang ditambang. Selain itu, bahan bakar nabati tidak mengandung belerang, sehingga asap knalpot yang dihasilkan lebih bersih dari pada bahan bakar fosil.
Bahan bakar nabati mulai menarik minat dari berbagai sisi, baik individu maupun pemerintah. Sebagai bahan bakar ia cukup bagus. Kekuatannya 37.27 MJ/L yang sangat mirip diesel biasa (Elsayed et al, 2003). Uni Eropa sudah berinvestasi pada bahan bakar biodisel sejak tahun 2003 (European Commission, 2003), proyek tersebut bersama dengan perusahaan riset di India dan sebuah universitas di Jerman untuk menanam jatropha. Mereka juga menggunakan biodisel 100% yang dihasilkan dari jatropha sebagai bahan bakar mobil. Uni Eropa juga telah menetapkan bahwa pada tahun 2020, sebanyak 25% seluruh bahan bakar transportasi harus berasal dari sumber energi yang bisa diperbaharui (WWF, 2004).
Minyak sawit sangat cocok dengan iklim tropis. Saat dijajarkan dengan tanaman lain yang menjadi sumber biodisel, tak ada yang bisa menandingi minyak sawit dalam hal produktivitas. Perbandingan sekilas menunjukkan bahwa untuk memproduksi jumlah minyak dari 1 Ha kelapa sawit, anda perlu 6.8 Ha bibit rapa, 9.4 Ha kedelai atau 7.5 Ha bunga matahari (Rupilius dan Ahmad, 2009). Apa arti hasil seperti ini dalam artian praktis? Jika 1 Ha beragam tanaman penghasil minyak di tanam, lalu kita ekstrak minyaknya dan menjalankan mobil kecil dengan bahan bakar berbeda ini, maka sejauh inilah kita bisa berjalan :
Þ Bunga Matahari 14.530 km / Ha
Þ Kacang kedelai 11.560 km / Ha
Þ Bibit Rapa 16.030 km / Ha
Þ Kelapa Sawit 109.000 Km / Ha
ISU LINGKUNGAN GLOBAL BAGI INDUSTRI SAWIT
Berkurangnya Keanekaragaman Hayati
Salah satu isu terpenting yang menghadapi industri minyak sawit adalah tingkat penebangan hutan di Asia Tenggara yang mengkhawatirkan. Asia Tenggara mengandung hutan yang merupakan rumah banyak spesies hewan unik, dan beberapa hutan hujan tertua di dunia. Dengan alasan tersebut, ilmuwan Amerika yang terkemuka sekaligus pengarang, Jared Diamond (1997), menyebutnya sebagai kesalahan terburuk dalam sejarah umat manusia. Contohnya di Eropa, jumlah spesies mamalia khas telah berkurang sekitar 90% semenjak adanya pertanian di Eropa (Sondaar, 1977). Dalam 100 tahun terakhir, lebih dari 90% harimau, badak Asia dan orang utan telah menghilang (WWF, 2009). Di seluruh dunia, lebih dari 10% vertebrata termasuk ikan, ampibi, reptil, burung dan mamalia, sekarang terancam punah (Hoffman et al, 2010).
Sayangnya, tanaman sawit paling baik tumbuh di kawasan hutan hujan tropis juga tumbuh, dan ini kebetulan di salah satu wilayah yang terkaya secara biologi di bumi. Hutan-hutan hujan ini, yang merupakan rumah beberapa spesies ikonis, sedang dihancurkan, dan di mata publik, ini adalah masalah besar untuk industri minyak sawit. Bahkan organisasi makanan dan pertanian PBB menyetujui hal ini. Laporan tahun 2008, organisasi itu menyatakan bahwa pertanian modern telah menyebabkan meningkatnya produksi makanan, tetapi dengan harga lingkungan yang tinggi (Bai et al, 2008).
Sementara itu, diperkirakan dari tahun 1982 hingga 1999, 36 ribu km persegi hutan tropis di Indonesia diubah menjadi lahan tanaman perkebunan. Setidaknya 44% (16 ribu mil persegi) dari lahan yang hilang digundulkan ini dibuat untuk kebun kelapa sawit. Di Malaysia, antara 1990 hingga 2002, hutan tropis yang diubah menjadi kebun sawit mencapai 14,300 km persegi (Brown dan Jacobson, 2005).
Praktik penggunaan tanah saat ini tidak selalu sesuai dengan pedoman keberlanjutan dan ramah lingkungan, sebagian karena pedoman ini tak bersifat wajib, atau diberlakukan dengan buruk. Contohnya, koridor marga satwa tidak dibangun dengan baik dan tepian-tepian sungai tak dilindungi dengan layak. Terpangkasnya pepohonan dapat menurunkan daya dukung tanah dan berimbas kepada mengungsinya sejumlah fauna dari lokasi pembangunan (Clay, 2005; Brown dan Jacobson, 2005; The New York Times, 2007). Paling optimis, hanya seperenam keanekaragaman hayati yang mampu bertahan setelah konversi hutan rimba menjadi lahan sawit (Fitzherbert et al, 2008).
Emisi Gas Rumah Kaca (GRK)
Di beberapa bagian dunia, terutama Amerika Selatan dan Asia Tenggara, hutan hujan murni masih dibuka dalam jumlah yang sangat besar. Setelah kayu yang sangat berharga diambil, sisa hutan yang sudah dibuka biasanya dibakar, karena itu adalah pilihan termurah. Walau begitu, hal ini berakibat pada lepasnya sejumlah besar gas rumah kaca ke atmosfer (IPCC,2007).
Sebanyak 20% gas rumah kaca berasal dari penebangan hutan (Foundation Chirac, 2011). Menurut Greenpeace (2007), ”data emisi gas rumah kaca tahun 2007 adalah 45 miliar ton, dari tanah gambut saja sebanyak 1,8 miliar ton per tahun. Ini berarti 4% dari GRK dunia berasal hanya dari 0.1% lahan.” Sementara itu, penelitian menemukan bahwa konversi lahan untuk pendirian kebun bahan bakar nabati di Brasil, Asia Tenggara dan Amerika Serikat melepaskan 17 hingga 420 kali lebih banyak CO2 ketimbang reduksi GRK (Gas Rumah Kaca) yang diharapkan dari penggantian bahan bakar fosil dengan bahan bakar nabati (Fargione et al, 2008).
Hingga hari ini, tanah gambut masih dibuka untuk membuat perkebunan dengan cara dikeringkan atau dibakar. Ini buruk bagi lingkungan, karena tanah gambut, sekali dikeringkan akan melepaskan sejumlah besar metana yang merupakan gas rumah kaca bersama karbondioksida (Wetlands, 2011).
Pertimbangan
Agar tak berat sebelah harus dikatakan bahwa keanekaragaman hayati telah berkurang di seluruh bumi, tak hanya di perkebunan kelapa sawit, gandum, jagung, kedelai, minyak lobak, dan ladang biji-bijian lainnya juga telah menghancurkan ekosistem alam, tetapi sayangnya, perkebunan kelapa sawit tumbuh produktif di wilayah yang bersesuaian dengan daerah iklim hutan hujan tropis. Kritik ekologi seharusnya juga bagi ladang tulip, lavender, mawar dan bunga lainnya di Eropa, yang menghilangkan apa yang ada di sana sebelumnya, bahkan lebih buruk lagi, yakni membuka lahan bagi tanaman yang bukan makanan. Dari perspektif negara dunia ketiga, tampaknya negara maju mengambil pendekatan “saudara tua”, mereka boleh saja menghancurkan lingkungan mereka sendiri untuk memajukan kesejahteraan mereka, dan sekarang mereka berkata kepada negara-negara miskin, tunggu, jangan berkembang, lindungi hutan hujan kalian karena itu penting bagi dunia dan merupakan paru-paru dunia. Ambil contoh gambaran emisi GRK dunia. Jika dilihat secara per kapita, maka emisi GRK Indonesia dan Malaysia masih jauh dibawah negara-negara maju.
Negara
|
Metrik Ton per kapita
|
Qatar
|
48
|
Bahrain
|
27
|
UEA
|
26
|
Kuwait
|
26
|
Trinidad dan Tobago
|
20
|
Amerika Serikat
|
19
|
Australia
|
19
|
Kanada
|
17
|
Arab Saudi
|
14
|
Finlandia
|
13
|
Malaysia
|
5.9
|
Indonesia
|
1.5
|
Tabel 1: Emisi CO2 per
kapita sepuluh negara dengan emisi tertinggi bersama Indonesia dan Malaysia
tahun 2006 (Sumber: Population Reference Bureau, 2009).
Seluruh publisitas negatif diarahkan pada industri minyak sawit, disisi lain minyak sawit terus mendapatkan banyak permintaan, karena industri ini memenuhi kebutuhan vital negara-negara lain dalam menambah kekurangan mereka. Isu-isu ekologi, seputar industri minyak sawit secara khusus merupakan pokok penting, karena minyak sawit adalah sumber pendapatan penting untuk negara-negara di Asia Tenggara, dan industri tersebut telah meningkatkan kesejahteraan ribuan warga desa. Namun, pertanyaan pentingnya adalah dengan harga ekologi apa bagi bumi, dan adakah solusi untuk membuat semua pihak setuju.
Perdebatan makanan versus bahan bakar semakin menguat, seraya banyak orang yakin bahwa mengubah komoditas makanan yang berharga, seperti minyak sawit, untuk membuat bahan bakar nabati, sangatlah kontroversial. Argumen utamanya adalah tanaman untuk makanan seharusnya tak digunakan untuk membuat bahan bakar atau plastik, sementara banyak kekurangan gizi di bumi. Mengingat para petani di seluruh dunia saat itu terlalu banyak memproduksi komoditas seperti susu, dan ada cukup banyak biji-bijian untuk memberi makan hampir 1,5 kali populasi dunia saat ini (Holt-Gimenez et al, 2009). Kalau begitu mengapa ada kekurangan makanan dan orang-orang kelaparan di bumi? Tentu saja yang harus disalahkan adalah buruknya distribusi makanan dan bukanlah produksi makanan yang tak mencukupi.
Beberapa orang juga berpendapat bahwa salah secara moral untuk menggunakan makanan sebagai bahan bakar. Masalahnya adalah argumen ini gagal mempertimbangkan satu kenyataan besar, jumlah tanah pertanian di bumi adalah terbatas. Dengan demikian, masalah intinya adalah tanaman apa yang memproduksi paling banyak panen per hektar, atau dengan kata lain, apa efisiensi hasilnya? Tanaman panen yang memberikan paling banyak entah apakah ia memproduksi minyak yang bisa dimakan, jelas adalah yang paling produktif.
Gambar 2 : Perkembangan Harga Minyak Sawit dunia (Sumber: Butler dan Laurance, 2009)
Argumen lain dari para kritikan adalah menggunakan makanan sebagai bahan bakar akan menaikkan harga makanan. Ini mungkin benar, tetapi situasinya tidak langsung. Teknologi masa kini membuat perusahaan bisa memproduksi diesel, tetapi dengan harga yang lebih tinggi dari pada memproduksi diesel biasa, jadi kecil kemungkinan di masa depan sebagian besar minyak yang bisa dimakan akan diubah menjadi biodisel. Jika energi terus dikonsumsi dengan tingkat sekarang, maka ya, harga banyak barang akan meningkat, seraya bumi perlu bahan bakar dan energi untuk mengurangi kebutuhan mereka akan energi. Salah satu solusi adalah mengenakan pajak kepada bahan bakar nabati dengan layak, dan pajak ini kemudian bisa digunakan untuk mensubsidi produksi dan distribusi makanan, maka mungkin harga makanan bisa tetap stabil. Tak ada pilihan untuk masalah ini.
Efisiensi hasil menjadi semakin penting karena populasi penduduk dunia tumbuh pesat. Tahun 1927 populasi bumi 2 M, 2030? Mungkin 8 M orang di bumi (Lutz et al, 1997). Seraya populasi manusia meningkat dan tanah pertanian semakin langka, bumi harus menemukan cara bagaimana memproduksi 4x lipat dari bahan makanan pada saat itu.
Dari sudut pandang ekologi, dunia harus mengeksplorasi tanaman penghasil minyak apa yang paling efisien, dan berapa serapan karbondioksida mereka. Jadi, bagaimana minyak sawit, jika dibandingkan tanaman penghasil minyak lainnya? Salah satu hal pertama yang harus diperhatikan adalah minyak sawit merupakan pohon yang relatif besar, dan oleh karena itu menyerap jauh lebih banyak CO2 dan melepaskan jauh lebih banyak O2 per hektar, daripada tanaman-tanaman penghasil minyak lainnya yang lebih kecil. Selama satu tahun, 1 Ha perkebunan kelapa sawit melepaskan lebih dari 21 ton O2 dan menyerap hampir 30 ton CO2 dalam prosesnya. Sebagai perbandingan, 1 Ha kedelai hanya melepaskan sekitar 2,5 ton O2, dan menyerap hanya 3,5 ton CO2 (Wahid, 2009). Bahkan, dalam hal berapa banyak karbon yang mereka serap per Ha per tahunnya, minyak sawit bisa dibandingkan dengan hutan hujan. Faktor penting lain untuk dipertimbangkan adalah persediaan tanah pertanian terbatas, jadi saat dunia melihat bisnis minyak sayur, fokus utamanya seharusnya pada memelihara keawetan dan mendiskusikan hasil per Ha. Mengenai hal ini, fakta-faktanya juga tampak sangat menjanjikan untuk industri minyak sawit. 1 Ha pohon kelapa sawit saat ini dapat memproduksi hingga 8 ton minyak per tahun (Jalani et al, 1997).
Hal yang menggembirakan adalah minyak sawit saat ini telah berhasil dimodifikasi secara genetika dan mampu menghasilkan pohon sawit yang memproduksi minyak lebih dari 3x lipat (Brown dan Jacobson, 2005). Malaysia terus mengembangkan teknik rekayasa genetika ini karena tekanan lahan yang semakin sempit dan rendahnya tenaga kerja (Parvez et al, 2000; 2004). Sayangnya, rekayasa genetika pada kelapa sawit lebih lanjut terkendala pada usia tanaman ini yang mencapai sekitar 25 tahun. Tanaman sawit transgenik memerlukan waktu empat hingga lima tahun dalam rumah kaca untuk dapat dilihat hasilnya. Walau kecil kemungkinan kalau produksi komersil sawit hasil rekayasa genetik akan dapat dilakukan dalam waktu dekat (Britannia Food Ingredients, 1999), di Indonesia langkah ke arah ini sudah pula dilakukan (Budiani et al, 2008).
Arah Selanjutnya
Minyak sawit harus segera diproduksi secara berkelanjutan dan dengan tepat, agar diakui dan dihormati oleh negara-negara pengekspor, klien industrinya, LSM-LSM dan konsumennya. Untuk mencapai tujuan ini, kebijakan nasional harus ditetapkan dan dilaksanakan secara efektif untuk mendesak produsen besar dan kecil hanya mengelola dan menggunakan minyak sawit yang diproduksi secara berkelanjutan. Beberapa cara untuk memperbaiki kinerja lingkungannya adalah dengan segera menghentikan penebangan hutan, dan berhenti mengubah tanah gambut menjadi perkebunan kelapa sawit. Jika rekayasa genetika masih jauh dari jangkauan dan terkendala oleh tenaga kerja, maka solusi lain adalah dengan merekayasa lahan yang ada. Program konversi lahan kritis menggagas bahwa kebun sawit harus dibangun di atas lahan yang telah rusak, bukan pada lahan hutan. Hal ini sudah ditempuh oleh Pemerintah Indonesia sejak bulan Mei 2010. Menurut perkiraan terdapat enam juta hektar lahan kritis yang dapat digunakan untuk produksi sawit di Indonesia. Jika melihat kondisi lahan sawit yang saat ini mencakup tujuh juta hektar, maka ini hampir lipat duanya (World Growth, 2011).
Industri harus menghentikan dan memberi hukuman perusahaan-perusahaan yang masih mempraktekkan pembukaan lahan dengan pembakaran. Industri minyak sawit juga perlu menetapkan praktik penggunaan tanah yang lebih baik, seperti menetapkan koridor margasatwa serta melindungi tepi-tepian sungai.
Konsumen juga bisa melaksanakan peran mereka, dan meminta agar tak hanya minyak sawit, tetapi semua komoditas pertanian, termasuk minyak dan lemak yang bisa dimakan, disertifikasi dengan benar dan dikelola dengan cara yang berkelanjutan. Banyak LSM dan konsumen individu, telah mulai memaksakan sejumlah tekanan kepada perusahaan-perusahaan multi nasional, seperti Unilever, Nestle, dan sebagainya untuk hanya membeli dan menggunakan minyak sawit yang telah diproduksi secara berkelanjutan (Brown dan Jacobson, 2005). Hal ini telah membawa pada kesepakatan untuk menghasilkan minyak sawit secara berkelanjutan, yakni RSPO (Roundtable of Sustainability Palm Oil) pada tahun 2004 (PanEco, 2006). Badan ini termasuk penanam, LSM, produsen makanan, juga perwakilan industri lainnya dimana hal pokoknya adalah tidak membuka lahan yang punya nilai konservasi tinggi, tidak membuka lahan yang akan menyebabkan dampak besar terhadap orang-orang yang saat ini hidup di area itu dan tak menyebabkan dampak terhadap flora dan fauna yang saat ini ada di sana.
Untuk membuat perusahaan lebih bertanggungjawab lagi, kartu skor pembeli minyak sawit diperkenalkan oleh WWF (World Wildlife Fund), pada pertengahan tahun 2009 (WWF, 2009), untuk membantu pembeli industri memilih hanya minyak sawit yang diproduksi secara berkelanjutan. Memang saat ini minyak sawit tampaknya satu-satunya minyak sayur yang punya kriteria berkelanjutan. Saat ini, hanya sekitar 2 juta ton minyak sawit bersertifikasi berkelanjutan yang diproduksi di seluruh dunia, sekitar setengahnya berasal dari Malaysia, dan hanya 2% dari yang tersedia yang dibeli perusahaan, sebuah angka yang sangat rendah, walaupun diprediksikan persentase akan semakin meningkat berkat komitmen bersama (WWF, 2010). Ini hanyalah awalnya, masih banyak yang harus dilakukan selain lebih banyak dialog antara pendukung minyak sawit dan yang menentangnya.
Untuk sekarang, tidak mungkin menghapuskan minyak sawit, karena hal ini akan menyuramkan konsekuensi ekologi dan ekonomi, dimana dunia harus kembali ke tanaman yang lebih tidak efisien, dan ini secara langsung akan mempengaruhi desa miskin yang bergantung pada minyak sawit untuk kehidupan mereka.
Untuk itu perlu dipaksakan pada seluruh industri yang terlibat dalam produksi dan konsumsi minyak sawit, untuk melakukannya dengan cara yang berkelanjutan dan bertanggungjawab. Mereka juga harus ingat bahwa konsumen dunia sekarang lebih terpelajar dan semakin sadar akan apa yang mereka beli dan mereka makan. Satu hal yang pasti, permintaan minyak sayur akan terus meningkat. Jika bumi tak bisa lagi menanggung lebih banyak penebangan hutan dan pembukaan hutan hujan tropis di seluruh wilayah dunia dengan keanekaragaman hayatinya maka planet ini telah tiba dipersimpangan jalan pada banyak isu lingkungan.
KESIMPULAN
Isu besar yang menghadapi minyak sawit adalah ; pertama, perlunya persetujuan dari seluruh pemegang saham, terutama para penanam, kebutuhan untuk memulihkan operasi secara berkelanjutan. Kedua, untuk memperbaiki komunikasi tentang apa sebenarnya minyak sawit, pengaruhnya pada lingkungan, dan aspek positif minyak sawit agar dunia barat mengerti, apa itu minyak sawit dan keuntungan minyak sawit. Tentang sisi negatifnya dan bagaimana sisi negatif itu ditujukan. Ketiga, di mata banyak orang, industri minyak sawit tak cukup diberi kebijakan. Karenanya industri sawit harus diregulasi dengan lebih baik. Pemerintah dan asosiasi harus segera membuat peraturan yang benar, tegas dan transparan untuk mendukung operasi berkelanjutan dan komunikasi yang lebih baik antara produsen dan masyarakat.
SARAN
Bagi para ilmuan, baik akademis maupun industri, penelitian dan pengembangan rekayasa genetika sawit diperlukan untuk lebih meningkatkan keunggulan sekaligus menurunkan dampak negatifnya. Sejumlah proyek rintisan telah dimulai di Lembaga Penelitian Bioteknologi Indonesia dan IPB. Industri dan Institusi Pendidikan dapat membangun fasilitas rekayasa genetika yang berfokus khusus pada proyek-proyek terkait sawit.