Toksisitas DDT adalah sedang, dengan LD50 oral (tikus) 113 mg/kg (WHO, 2005). Insektisida ini bekerja melalui kontak kulit terhadap berbagai jenis serangga (Soedarto, 2008). Dichloro Diphenyl Trichloroethane mempengaruhi keseimbangan ion-ion K dan Na dalam neuron (sel saraf) dan merusak selubung saraf sehingga fungsi saraf terganggu (Tarumingkeng, 2001). Serangga dengan mutasi tertentu pada gen kanal sodiumnya resisten terhadap DDT dan insektisida sejenis lainnya (Denholm et al., 2002).
PROSES TERJADINYA RESISTENSI DAN MEKANISME RESISTENSI
Serangga dikatakan telah resisten terhadap suatu insektisida jika dengan dosis yang biasa digunakan, serangga tersebut tidak dapat dibunuh (Soedarto, 2008). Resistensi yang kadangkala diindikasikan oleh menurunnya efektivitas suatu teknologi pengendalian tidak terjadi dalam waktu singkat (Untung, 2004). Lamanya proses resistensi pada serangga terhadap insektisida sangat bervariasi, dari hanya satu sampai dua tahun, hingga puluhan tahun. Sebagai contoh, senyawa arsenik yang digunakan untuk mengendalikan kumbang kolorado pada kentang di Long Island (Amerika Serikat) sejak tahun 1880, baru menampakkan gejala resistensi pada tahun 1940-an, tetapi fenvalerat telah menyebabkan resistensi hanya dalam waktu tiga tahun, bahkan karbofuran tidak lagi efektif setelah dua tahun digunakan (Djojosumarto, 2006). Resistensi insektisida berkembang setelah adanya proses seleksi yang berlangsung selama banyak generasi. Resistensi merupakan suatu fenomena evolusi yang diakibatkan oleh seleksi pada serangga yang diberi perlakuan insektisida secara terus menerus.
Di alam frekuensi alel individu rentan lebih besar dibandingkan frekuensi alel individu resisten, dan frekuensi alel homosigot resisten (RR) berkisar antara 10-2 sampai 10-13. Karena adanya seleksi yang terus menerus jumlah individu yang peka dalam suatu populasi semakin sedikit. Individu resisten kawin satu dengan lainnya, sehingga menghasilkan keturunan yang resisten pula. Populasi yang tetap hidup pada aplikasi insektisida permulaan akan menambah proporsi individu yang tahan terhadap senyawa dan meneruskan sifat ini pada keturunan mereka (Untung, 2004).
Beberapa serangga telah resisten terhadap DDT. Setelah DDT ditemukan, serangga yang tidak memiliki resistensi bawaan dan terkena zat kimia ini akan punah dari populasinya. Sejalan dengan waktu, serangga resisten yang sebelumnya sedikit menjadi bertambah banyak. Akhirnya, seluruh spesies tersebut menjadi populasi dengan anggota-anggota yang resisten terhadap DDT. Ketika ini terjadi DDT menjadi tidak efektif lagi terhadap spesies serangga tersebut (Yahya, 2004).
Pengguna insektisida sering menganggap bahwa serangga yang tetap hidup belum menerima dosis letal, sehingga mereka meningkatkan dosis dan frekuensi aplikasi. Tindakan ini yang mengakibatkan semakin menghilangnya proporsi serangga yang peka dan meningkatkan proporsi serangga yang tahan dan tetap hidup. Dari generasi ke generasi proporsi individu resisten dalam suatu populasi akan semakin meningkat dan akhirnya populasi tersebut akan didominasi oleh individu yang resisten. Resistensi tidak akan menjadi masalah sampai suatu populasi didominasi oleh individu-individu yang resisten, sehingga pengendalian serangga menjadi tidak efektif lagi.
Salah satu faktor yang mempengaruhi laju perkembangan resistensi adalah tingkat tekanan seleksi yang diterima oleh suatu populasi serangga. Pada kondisi yang sama, suatu populasi yang menerima tekanan yang lebih keras akan berkembang menjadi populasi yang resisten dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan populasi yang menerima tekanan seleksi yang lemah.
Menurut Untung (2004), mekanisme resistensi suatu serangga terhadap insektisida dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Peningkatan detoksifikasi insektisida oleh karena bekerjanya ensim-ensim tertentu.
Dichloro Diphenyl Trichloroethane didetoksifikasi menjadi DDE, DDA, atau kelthane oleh karena bekerjanya ensim dehidroklorinase (Beament & Treherne, 2003).
2. Penurunan kepekaan tempat sasaran insektisida pada tubuh serangga.
Diperkirakan bahwa kepekaan terhadap DDT di tempat sasaran dapat berubah oleh karena perubahan suhu. Pada penelitian menggunakan neuron sensori pada kaki lipas menunjukkan bahwa DDT lebih efektif merangsang sel sensori pada suhu rendah (160C) dari pada suhu tinggi (300C) (Beament & Treherne, 2003).
3. Penurunan laju penetrasi insektisida melalui kulit atau integumen.
Dalam bentuk suspensi, DDT bekerja lebih kuat terhadap larva nyamuk pada suhu rendah dari pada suhu tinggi. Namun, jika diinjeksikan pada larva, DDT bekerja lebih kuat pada suhu tinggi dari pada suhu rendah. Berdasarkan pengamatan tersebut, disimpulkan bahwa DDT diabsorbsi lebih banyak pada suhu rendah dari pada suhu tinggi (Beament & Treherne, 2003).
Selain faktor-faktor tersebut di atas, faktor lain yang dapat mempengaruhi terjadinya resistensi serangga terhadap insektisida adalah stadium serangga, generation time serangga dan kompleks genetik (genetic complex) serangga. Insektisida yang bekerja terhadap semua stadium serangga, artinya dapat membunuh stadium telur, larva, pupa, maupun dewasa, akan lebih cepat terjadi resistensi terhadapnya dibandingkan dengan insektisida yang hanya bekerja terhadap satu stadium dari serangga. Serangga-serangga yang mempunyai siklus hidup pendek sehingga dalam setahun terdapat banyak generasi, akan lebih cepat menjadi resisten terhadap insektisida dibandingkan dengan serangga-serangga yang hanya mempunyai satu generasi dalam setahun (siklus hidupnya panjang). Dalam hal kompleksitas dari gen, semakin banyak gen yang mengatur kemampuan resistensi serangga terhadap insektisida, semakin lambat terjadi resistensi. Jika jumlah gen pengatur resistensi sedikit, serangga cepat resisten terhadap insektisida (Soedarto, 2008).