Wewenang Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara, digerakkan oleh lembaga negara yang merasa kewenangan konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan oleh lembgaga negara lain, dengan mengajukan permohonan dalam 12 (dua belas) rangkap kepada MK yang akan memuat :
1. Data tentang :
Identitas lembaga negara yang menjadi pemohon, seperti nama lembaga negara, nama ketua lembaga negara dan alamatnya.
Nama dan alamat lembaga negara yang menjadi termohon;
Uraian jelas tentang :
i. kewenangan yang dipersengketakan;
ii.kepentingan langsung pemohon atas kewenangan tersebut.
iii. hal-hal yang diminta untuk diputuskan.
Alat-alat bukti tertulis 12(dua belas) rangkap yang diberi meterai yang cukup.
Daftar ahli-jika ada- dan pokok keterangan yang akan diberikan
Permohonan harus terlebih diteliti kelengkapannya oleh Kepaniteraan. Apabila belum lengkap, Pemohon diwajibkan melengkapi dalam jangka waktu 7(tujuh) hari kerja sejak pemberitahun kekuranglengkapan tersebut diterima oleh Pemohon. Apabila dalam jangka waktu tujuh hari tersebut permohonan tidak dilengkapi atau disempurnakan sebagaimana ditentukan, maka Kepaniteraan tidak mendaftarkan perkara tersebut dengan mengeluarkan akte yang menyatakan permohonan tidak diregistrasi. Dalam hal demikian berkas permohonan akan dikembalikan kepada Pemohon. Sebaliknya permohonan yang memenuhi syarat karena dipandang sudah lengkap, akan didaftarkan dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK), dan dalam jangka waktu tujuh hari sejak registrasi tersebut, permohonan Pemohon tersebut sudah harus disampaikan kepada Termohon oleh Juru Panggil. Hal demikian dimaksudkan untuk memberi kesempatan bagi Pemohon mempersiapkan pembelaannya secara sempurna. Setelah registrasi dan pengiriman satu salinan permohonan tersebut kepada Termohon, Panel Hakim-yang terdiri dari 3(tiga) orang yang ditunjuk Ketua MK, dalam waktu 14( empat belas) hari sejak registrasi perkara sudah harus menetapkan sidang pertama, untuk pemeriksaan pendahuluan. Penetapan hari sidang demikian harus diberitahukan kepada Pemohon dan Termohon, serta diumumkan kepada masyarakat melalui papan pengumuman MK dan situs MK(www.mahkamahkonstitusi.go.id) serta media lainnya. Pemberitahuan tadi merupakan panggilan, yang harus sudah diterima para pihak dalam jangka waktu paling lambat 3 hari.
Pemeriksaan Pendahuluan
Sidang pertama untuk pemeriksaan pendahuluan akan melakukan pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan permohonan. Meskipun tampak seperti memiliki duplikasi dengan wewenang kepaniteraan untuk memeriksa kelengkapan permohonan, maka pemeriksaan pendahuluan yang diakukan oleh panel hakim tidak lagi menyangkut kelengkapan administrasi permohonan, tetapi menyangkut substansi permohonan, yaitu untuk melihat dasar-dasar legal standing dan uraian posita maupun petitum permohonan. Tahap pemeriksaan ini untuk menentukan apakah menentukan apakah memang cukup layak untuk diteruskan dalam pemeriksaan pleno yang harus menghadirkan Termohon. Oleh karenanya dalam pemeriksaan pendahuluan ini, sama dengan pemeriksaan pendahuluan dalam pengujian undang-undang, yang dipanggil untuk menghadiri persidangan adalah Pemohon atau Kuasanya, tanpa kehadiran Termohon, karena memang pemeriksaan baru untuk melihat kelayakan yang berkaitan dengan kejelasan dan kelengkapan permohonan. penting dalam acara ini, yaitu jika permohonan meminta dikeluarkannya satu putusan sela, yang umumnya menyangkut dihentikannya wewenang yang dijalankan oleh Termohon sampai perkara telah diputus, kehadiran termohon menjadi satu keharusan. Hal tersebut disebabkan adanya prinsip mendengar pihak sebelum dikeluarkannya putusan, meskipun hanya bersifat putusan sela, tetapi mengandung dampak mendasar bagi satu lembaga negara yang digugat kewenangannya. Satu permohonan yang dipandang masih kurang layak atau kurang memenuhi syarat, melalui nasihat yang diberikan oleh Panel, akan diperbaiki oleh pemohon dalam jangka waktu 14(empat belas) hari. Nasihat Hakim yang demikian tidak mengikat pemohon, dan juga dapat dikesampingkan, meskipun dapat mengandung konsekwensi bahwa Permohonan dapat dengan segera disimpulkan tidak dapat diterima. Dalam beberapa hal nasihat hakim yang diberikan dalam pemeriksaan pendahuluan itu, sesungguhnya merugikan dilihat dari segi terbacanya pendirian hakim tentang kasus yang sedang dihadapi. Hal yang kurang lebih sama tetapi dengan nama dan prosedur berbeda dapat kita jumpai dalam hukum acara Pengadilan TUN, dimana dalam tahap pemeriksaan persiapan Hakim TUN juga kurang lebih melakukan hal yang sama. Tetapi bedanya, di PTUN, satu gugatan yang tidak memiliki dasar atau kurang layak, akan berakhir dengan pernyataan dismissal. Karena itu pula pemeriksaan persiapan tersebut merupakan satu dismissal process. Di MK hal semacam itu tidak dikenal. Satu permohonan yang dipandang kurang layak, tidak mempunyai dasar standing yang cukup, tetap akan diputus dalam sidang pleno, meskipun terbatas dengan diktum ”permohonan tidak dapat diterima”. Oleh karena itu sesunguhnya, tujuan ditentukannya setiap perkara harus melalui tahap pemeriksaan pendahuluan dengan kewajiban hakim memberi nasihat dan pemohon kemudian diberi waktu memperbaiki permohonan, adalah untuk mempersiapkan kelayakan permohonan tersebut untuk didengar dan dipertimbangkan Mahkamah Konstitusi dengan menghadirkan lembaga negara lain sebagai termohon sebagai organ konstitusi, agar permohonan dan persidangan MK tidak merupakan pemborosan yang sia-sia untuk hal-hal yang boleh jadi irrelevan untuk dipermasalahkan.
Sumber kewenangan Pemohon adalah UUD 1945, tidak dapat diukur atau dinilai dengan aturan yang lebih rendah yang tidak serasi/incompatible dengan Konstitusi tersebut. Kalau hal itu dilakukan, maka setiap organ yang menilai dan melaksanakan hasil penilaian tersebut secara demikian, telah melanggar kewajiban konstitusionalnya untuk menjalankan dan menjunjung tinggi UUD 1945 sebagai aturan dasar. Termohon I, II, dan III yang menjalankan kewenangannya atas dasar Putusan TUN Mahkamah Agung tersebut, didasarkan pada hukum yang lebih rendah secara bertentangan dengan UUD 1945, yang merupakan aturan dasar sebagai hukum tertinggi tersebut, dan telah melaksanakannya bertentangan dengan kewajiban konstitusionalnya. Putusan badan peradilan yang berkekuatan demikian seharusnya diperlakukan sebagai putusan yang tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (buiten effect) dan tidak dapat dilaksanakan sama sekali (non-executabel), kerena jika terjadi pertentangan antara 2 (dua) kewajiban yang didasarkan atas dua tingkat aturan hukum yang berbeda, baik lembaga negara yang memiliki wewenang maupun MK yang memutus sengketa kewenangan lembaga negara harus mendahulukan Konstitusi.
Terutama juga hal demikian dapat disimpulkan dari sumpah jabatan Presiden yang akan memenuhi kewajibannya dengan sebaik-baiknya dengan memegang teguh UUD dan menjalankannya dengan selurus-lurusnya Sistem Konstitusi dalam dirinya mengandung uji Konstitusional, dan ketika timbul benturan antara aturan konstitusi dan aturan perundang-undangan yang lebih rendah, pejabat negara wajib terikat untuk menghormati aturan Konstitusi dan mengesampingkan aturan perundang-undangan yang lebih rendah. Hal ini lahir dari prinsip bahwa setiap tindakan/perbuatan dan aturan perundang-undangan dari semua otoritas yang diberi wewenang oleh konstitusi, tidak boleh bertentangan dengan basic rights dan UUD itu sendiri sebagai hukum yang tertinggi, dengan konsekuensi bahwa aturan atau tindakan demikian menjadi “batal demi hukum” dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menyangkal hal ini akan mengingkari kedudukan UUD sebagai Hukum Dasar yang tertinggi dan sumber kewenangan lembaga negara. Hal itu secara tidak sah akan mengukuhkan keadaan bahwa wakil atau pelaksana itu lebih besar dari prinsipal atau pelayan lebih besar dari majikannya. ”To deny this would be to affirm that the deputy is greater than his principal; that the servant is above his master; that the representatives…are superior to the people themselves”.