Pemeriksaan Persidangan (Pleno) Kelayakan dan kejelasan permohonan yang telah
diperiksa Panel Hakim dan diperbaiki pemohon setelah diberi nasehat dalam
pemeriksaan pendahuluan, akan dilaporkan dalam Rapat Permusyawaratn Hakim (RPH)
disertai oleh Rekomendasi, yang menyangkut hal berikut :
1. Permohonan kurang mempunyai dasar yang cukup,
baik karena syarat legal standing tidak dipenuhi atau alasan konstitusional yang tidak
cukup, oleh karenanya diusulkan untuk segera diambil keputusan oleh Pleno
berdasarkan bahan yang diperoleh dari permohonan dan perbaikan serta hasil
persidangan Panel.
2. Permohonan tidak begitu relevan, akan tetapi
bagi berlangsungnya satu proses hukum yang baik (een goode process), karena Pemohon masih akan mengajukan ahli untuk
mendukung permohonannnya, meminta agar sidang diteruskan ketahap pemeriksaan
persidangan, akan tetapi agar Panel diberi mandat untuk mendengar kesaksian
tersebut. Hasil persidangan tersebut kemudiandilaporkan pada Pleno, untuk
dipertimbangkan dan diputus.
3. Pemeriksaan
persidangan dilakukan dengan menghadirkan lembaga negara yang dianggap
merugikan kewenangan konstitusional Pemohon untuk didengar, dengan sekaligus
mendengar ahli-ahli yang diajukan kedua belah pihak.
Pada
tahap pemeriksaan persidangan ini,
setelah pemohon diberi waktu yang cukup untuk membuktikan permohonan, maka
termohon diberikan kesempatan yang sama untuk membuktikan sebaliknya. Meskipun
beban pembuktian diletakkan pada Pemohon, sesuai dengan prinsip beban
pembuktian yang dikenal secara umum dan universal, akan jika terdapat alasan
yang cukup kuat Majelis Hakim dapat membebankan pembuktian kepada pihak
Termohon. Alat-alat bukti yang dapat dujukan tersebut adalah :
- Bukti
surat atau tulisan.
- Keterangan
Saksi.
- Keterangan
Ahli.
- Keterangan
para pihak.
- Alat
bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA
Satu perselisihan atau sengketa kewenangan lembaga
negara yang telah diajukan kehadapan Mahkamah Konstitusi dapat memperoleh
penyelesaian dengan beberapa cara. Penyelesaian itu dapat terjadi bersifat sementara atau dapat
bersifat permanen dengan satu putusan yang bersifat final dan mengikat dengan
dicapainya satu putusan akhir oleh Mahkamah Konstitusi. Satu penyelesaian yang
bersifat sementara, terjadi misalnya, karena sebelum proses persidangan dimulai
atau selama proses persidangan berlangsung tetapi belum mencapai keputusan,
Pemohon menarik permohonannya. Sangat menarik misalnya untuk memperhatikan,
karena budaya atau kultur birokrasi dan pemerintahan yang belum terbiasa untuk
menggunakan mekanisme hukum dan peradilan bagi penyelesaian perbedaan pendapat
dan sengketa kewenangan antara lembaga negara, maka pengaruh pimpinan Negara dan
Pemerintahan berpengaruh besar dalam menentukan diteruskan tidaknya
penyelesaian sengketa melalui mekanisme
hukum dan peradilan tersebut.
Dalam hal penarikan sebelum persidangan dilakukan maka Ketua Mahkamah
Konstitusi akan mengeluarkan Ketetapan tentang penarikan tersebut. Sedang
apabila penarikan permohonan dilakukan pada saat proses sedang berjalan, maka
setelah mendengar pendapat pemohon, maka Mahkamah mengeluarkan Ketetapan yang
mengabulkan penarikan permohonan tersebut, dan mencatat penarikan permohonan
tersebut dalam buku register perkara. Dapat terjadi bahwa setelah penarikan
permohonan, termohon tidak menyetujui, dan meminta sengketa diakhiri dengan
satu putusan yang akan dijadikan pedoman dalam melaksanakan kewenangan tersebut
secara tegas dan jelas. Dalam hal penarikan dikabulkan, maka timbul satu akibat
hukum bahwa permohonan yang sama yang menyangkut sengketa kewenangan tersebut
tidak dapat lagi diajukan kehadapan MK untuk diputus. Tetapi hal itu hanya
merupakan satu prinsip umum. Dalam keadaan tertentu yang penting, sebagai
pengecualian, permohonan demikian dapat diajukan kembali karena alasan, (i)
substansi sengketa memerlukan penyelesaian secara konstitusional,(ii) tidak
terdapat forum lain untuk menyelesaikan sengketa dimaksud; dan (iii) adanya
kepentingan hukum yang memerlukan kepastian hukum.
Ketiga alasan ini sebagai dasar untuk
meperbolehkan permohonan yang sudah ditarik dapat diajukan kembali, lahir
berdasar pengalaman ketika kultur penyelesaian perbedaan pendapat ditingkat
lembaga negara diluar jalur hukum dan peradilan tidak membawa kepastian hukum menjurus pada kemacetan penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan. Kewenangan MK untuk mengatur ini didasarkan pada delegasi wewenang
yang ditetapkan dalam pasal 86 undang-undang nomor 24 tahun 2003 yang berbunyi
:”Mahkamah Konstitusi dapat mengatur
lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan
wewenangnya menurut undang-undang ini”. Dalam penjelasan pasal 86 tersebut
disebutkan bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk mengisi kemungkinan adanya
kekurangan atau kekosongan dalam hukum acara berdasarkan undang-undang
MK.Secara universal kewenangan rule
making power khususnya untuk melengkapi hukum acara yang kurang, dimiliki
oleh Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung Indonesia juga
diberi kewenangan rule making power demikian dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah
Agung.
ADS HERE !!!