Untuk mengakhiri sengketa kewenangan lembaga negara yang diajukan kehadapan Mahkamah Konstitusi, akan diselesaikan secara permanen dengan putusan tingkat pertama dan terakhir yang mengikat secara umum. Putusan Mahkamah atau putusan Pengadilan pada umumnya didefinisikan ”perbuatan hakim sebagai perjabat yang berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan kepadanya. Oleh karena sifatnya yang mengakhiri sengketa, maka putusan demikian disebut juga sebagai putusan akhir. Disamping itu selama prose berjalan, sebagaimana telah disinggung dimuka, maka MK juga boleh mengambil putusan sela, yang bersifat sementara, yang memerintahkan kepada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan, yang berupa tindakan nyata maupun tindakan hukum yang merupakan pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan.Alasan pengambilan putusan sela tersebut, disebutkan 2(dua) macam, yaitu :
a. Terdapat kepentingan yang mendesak, yang apabila pokok permohonan dikabulkan, dapat menimbulkan akibat hukum yang lebih serious.
b. Kewenangan yang dipersoalkan itu bukan merupakan pelaksanaan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Putusan Akhir, yang dijatuhkan berdasarkan keyakinan hakim , harus didukung oleh sekurang-kurangnya 2(dua) alat bukti yang sah. Putusan tersebut dapat berbunyi:
permohonan tidak dapat diterima.
Permohonan dikabulkan; atau
Dalam hal permohonan dikabulkan, maka dalam amar harus juga dinyatakan dengan tegas bahwa Pemohon berwenang untuk melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan dan/atau termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan. Jikalau putusan sela telah pernah dikeluarkan yang memerintahkan penghentian sementara pelaksanaan kewenangan dimaksud, maka dalam putusan akhir harus juga ditegaskan status putusan sela tersebut. Jika putusan mengabulkan permohonan, maka putusan sela tersebut dinyatakan sah sedang sebaliknya jika putusan akhir menolak permohonan, maka putusan sela harus dinyatakan tidak sah, dan dinyatakan dicabut. Hal ini berkaitan dengan segala tindakan hukum yang diambil setelah putusan sela tersebut, untuk diketahui apakah perbuatan hukum demikian sah dan mengikat secara hukum, berkenaan dengan ketentuan pasal 58 UU MK yang menentukan bahwa putusan Mahkamah tidak berlaku surut.
RAPAT PERMUSYAWARATAN HAKIM
Pengambilan keputusan Hakim dilakukan secara tertutup dan rahasia dalam Rapat Permusyawaratan Hakim(RPH). Pengambilan keputusan tersebut harus memenuhi korum sekurang-kurangnya 7 orang Hakim diantara 9 Hakim Konstitusi, dengan cara musyawarah untuk mufakat. Itu berarti, Ketua Majelis harus terlebih dahulu berusaha mendekatkan pendapat yang saling berbeda, dengan harapan tercapai suara yang utuh, yang tentu akan menambah legitimasi putusan, yang sangat berpengaruh pada implementasi. Akan tetapi apabila musyawarah yang telah dilakukan dengan sungguh-sungguh namun mufakat tidak tercapai, maka pengambilan keputusan dilakukan dengan suara terbanyak Dalam hal demikian ada kemungkinan Hakim yang berbeda akan memberikan pendapat tersendiri, baik yang pendapatnya berbeda (dissenting opinion) atau sekedar alasannya yang berbeda tapi hasilnya sama (concurring opinion). Kedua pendapat tersebut dimuat dalam putusan, meskipun secara terpisah dari putusan mayoritas yang akan berlaku sebagai putusan yang mengikat. Putusan yang diambil harus didasarkan kepada ketentuan UUD 1945, yang diyakini oleh hakim berdasar sekurang-kurangnya 2(dua) alat bukti, yang akan diuraikan dalam bagian fakta atau duduk perkara dan pertimbangan hukum, atas dasar mana Hakim sampai kepada diktum putusannya.
Jakarta, 21 Juni 2011.
ADS HERE !!!