PENGARUH DOSIS RADIASI 125I TERHADAP
DIAMETER INTI SPERMATOGONIUM
I Nyoman Suratma
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak:
Penelitian ini menggunakan 48 dua bulan tikus putih jantan berumur. Tikus-tikus putih kelompok ke dalam enam kotak plastik besar dengan diameter 30 cm, sehingga setiap kotak berisi 8 tikus putih. Tikus putih diobati dengan radioaktif sebagai berikut:
Kotak 1 dan kotak 2 digunakan sebagai kontrol 16 dan 32 hari.
ci dosis 5 untuk 16 hari.mKotak 3 diobati dengan radiasi radio aktif
ci dosis 5 untuk 32 hari.mKotak 4 diobati dengan radiasi radio aktif
ci dosis selama 16 hari.mKotak 5 diobati dengan radiasi radio aktif 10
ci dosis untuk 32 hari.mKotak 6 diobati dengan radiasi radio aktif 10
Setelah waktu yang ditetapkan berakhir, testis dilakukan pemeriksaan. Tikus putih dibunuh dengan eter dan kemudian dua testis diambil dificsasi dengan formalin 10% untuk preparat histologi ditandai, inti berdiameter spermatogonium pemeriksaan dilakukan. Semua putih tikus dibunuh dengan eter dan kemudian dua testis diambil difisasi dengan formalin 10% untuk preparat histologi ditandai, dan diameter inti dihitung. Hasilnya, dengan analisis statistik menunjukkan bahwa jumlah rata-rata berarti diameter inti kontrol yang spermatogonium adalah = 1.571 u dan SD = 0.191, sementara jumlah rata-rata (mean) dari spermatogonium inti berdiameter setelah radiasi adalah = 4,46 u dan sd adalah = 0.372.
Hal ini ditemukan bahwa tikus putih jantan dengan radiasi radioaktif 125I memiliki rata-rata lebih besar dari diameter inti dari yang kontrol. Analisis statistik menunjukkan bahwa varian alpha = 0,05 berarti p <0,05.
Kata kunci: tikus putih Laki-laki, inti berdiameter spermatogonium, radio aktif 125I.
EFFECT OF RADIATION DOSE OF 125I
CORE DIAMETER spermatogonial
I Nyoman Suratma
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract:
This research used 48 two-month old male white mice. These white mice were group into six big plastic boxes with the diameter of 30 cm, so each box contain 8 white mice. The white mice were treated with radioactive as follows :
Box 1 and box 2 were used as control of 16 and 32 days.
Box 3 was treated with radiation of radio active 5 mci dosage for 16 days.
Box 4 was treated with radiation of radio active 5 mci dosage for 32 days.
Box 5 was treated with radiation of radio active 10 mci dosage for 16 days.
Box 6 was treated with radiation of radio active 10 mci dosage for 32 days.
After the assigned time was over, testes examination was conducted.
The white mice was killed with ether and then the two testes was taken dificsasi with formalin 10 % for preparat histology maked, nucleus diameter spermatogonium examination was conducted. All the white mice's was killed with ether and then the two testes was taken difisasi with formalin 10 % for preparat histology maked, and the nucleus diameter was calculated. The result, with a statistical analysis showed that the average amount of the control's nucleus diameter spermatogonium mean was = 1,571u and sd = 0,191, while the average amount ( mean ) of nucleus diameter spermatogonium after radiation was = 4,46u and sd was = 0,372.
It is found out that the male white mice with radiation of radioactive 125I had greater average of nucleus diameter than the control ones. Statistical analysis of variant shows that alpha = 0,05 means p < 0,05.
Key words: Male white mice, nucleus diameter spermatogonium, radio active 125I.
I. PENDAHULUAN
Efek biologis dari radioaktif adalah merupakan akibat negatif yang timbul setelah suatu alat tubuh atau bagian dari tubuh terkena radiasi sinar pengion. Efek biologis dapat berupa efek somatic dan efek genetik yang tergantung pada bagian mana dari alat tubuh terkena penyinaran. Efek somatic adalah efek yang timbul segera setelah bagian tubuh terkena radiasi sinar pengion yang sifatnya dapat akut maupun secara lambat.
Efek somatic timbul pada bagian-bagian tubuh di luar alat reproduksi yang terkena radiasi sinar pengion. Efek genetic adalah merupakan efek biologis yang tampak pada generasi berikutnya dari seseorang yang terkena radiasi sinar pengion dan efek genetic timbul bila seseorang terkena radiasi pengion pada alat reproduksinya.
Testes merupakan suatu kelenjar ganda, karena memiliki fungsi eksokrin dan endokrin. Hasil eksokrin terutama sel-sel seks, sehingga oleh karena itu testis dapat disebut sebagai kelenjar sitogenik. Sedangkan hasil endokrin "sekresi interen" yang dilakukan oleh sel-sel khusus (Ham, dkk; 1979). Testis dibungkus oleh selaput yang terdiri dari : tunica vaginalis, tunica albuginea dan tunica vasculosa.
Testis sendiri tersusun atas banyak sekali bentukan-bentukan seperti pipa kecil (tubule) yang berjalan berlekuk-lekuk, dengan kedua muaranya berhubungan dengan rete testis melalui tubuh recti. Pipa-pipa kecil tersebut disebut tubuli seminiferi.
Clermont dan Huckins (1961), telah meneliti perjalanan dari tubululi seminiferi dari testis mencit. Dikatakannya setelah meninggalkan rete testis, tubulus seminiferous berjalan ke arah caudal sampai jarak tertentu, kemudian ia berbalik pada suatu belokan yang mirip bentuk jepitan rambut, untuk kemudian berjalan kearah caudal lagi. Demikian seterusnya tubulus itu berjalan bolak-balik ke caudal dan cranial, sehingga membentuk suatu lekukan-lekukan yang teratur dalam jumlah yang sangat banyak sampai akhirnya kembali bermuara ke rete testis lagi.
Speimatogonia.
Clermont dan Obregon (1968) menyebutkan bahwa populasi spermatogonia terdiri dari dua macam sel yaitu : stem cells dan differentiating cells.
Spermatogonia type A adalah sebagai stem cells, karena ia mampu membelah diri membentuk stem cells lagi dan differentiating cells, sedangkan differentiating cells adalah spermatogonia type intermediate dan type B, yang mana akan membelah untuk menjadi sel yang lebih terspesialisasi yaitu spermatocytes, dan tak mungkin membentuk stem cells lagi. Spermatogonium type A intinya jernih, dengan selaput inti yang tipis, sedangkan type B, inti mengandung chromatin yang besar dan selaput intinya tebal. Type intermediate adalah bentuk diantara keduanya tersebut.
Spermatogonia type B inilah yang kemudian membentuk spermatocyt-spermatocyt muda pada stage VI, yang bentuknya mirip sel induknya tapi dengan ukuran yang lebih kecil. Selanjutnya perubahanperubahan struktur inti terjadi pada intermediate intervals. Sampai pada stage IX baru menampakkan gambaran khas spermatocyt pada stadium leptotene.
Leeson and Leeson ( 1990 ) menyebutkan bahwa inti sel spermatogonium type A, gelap dengan inti sel lonjong berwarna gelap. Sel-sel tersebut membelah diri secara berkala untuk mempertahan kan jumlah spermatogonia dan juga untuk membentuk spermatogonia pucat type A yang memiliki inti lonjong pucat. Spermatogonia pucat type A, membelah diri secara mitosis untuk menjadi sperlnatogonia type B dan juga untuk menjadi spermatogonia pucat type A yang lain. Spermatogonia type B mempunyai inti bulat yang mengandung massa khromatin padat yang berhubungan dengan membran inti. Bila spermatogonia type B membelah diri dengan cara mitosis selsel tersebut menghasilkan sel-sel anak yang seluruhnya berdiferensiasi menjadi spermatocyte primer. Sewaktu proses ini berlangsung, sel-sel anak menjadi lamina basal, bertambah besar dan memperlihatkan perubahan sifat inti sel. Klasifikasi spermatogonia yang lebih kompleks diajukan oleh beberapa penulis misalnya karena jumlah generasi spermatogonia type B pada manusia ada empat, maka sel-sel tersebut diberi nama B1, B2, B3 dan B4.
Yang termasuk radiasi sinar pengion adalah : sinar alfa, sinar beta, sinar grenz, sinar X (Rontgent) dan sinar gamma (Anonim, 1973 a; Gabriel, 1988 ).