Sistem Manajemen Kinerja yang berorientasi pada output sering juga disebut sebagai Sistem Manajemen Kinerja yang berbasiskan pencapaian Sasaran Kinerja Individu (SKI). System ini memfokuskan pada hasil yang diperoleh atau yang dicapai oleh karyawan. Ruky (2004) menyebutnya sebagai Result Oriented Performance Management By Objective (MBO) atau di Indonesia popular dengan istilah MBS (Manajemen Berdasarkan Sasaran).
Bagaimana menggunakan MBS sebagai dasar Manajemen Kinerja? Untuk menjawab pertanyaan diatas marilah kita melihat gambar berikut ini:
Dari gambar diatas dapat dilihat, bahwa program Manajemen Kinerja ini benar-benar memerlukan komunikasi dua arah dan keterbukaan antara atasan dan bawahan. Mereka secara bersama-sama harus meneliti kembali ruang lingkup tugas, tanggung jawab dan weweng bawahan. Kemudian atasan menyampaikan sasaran-sasaran perusahaan dan sasaran yang menjadi tanggung jawabnya kepada bawahan. Selanjutnya bawahan juga harus menetapkan sasaran kerja sendiri yang akan mendukung sasaran perusahaan dan sasaran atasan dilengkapi dengan standar prestasi dan tolak ukur keberhasilan dalam angka (satuan), waktu penyelesaian dan spesifikasi lainya. Bila sasaran telah disetujui oleh atasan, kemudian dibuat action plan (rencana tindakan) yang mencantumkan secara rinci langkah-langkah apa yang akan diambil, siapa yang akan melakukan, kapan dimulai, kapan selesai dan berapa biayanya. Agar sasaran yang telah ditetapkan tercapai, pemantauan terhadap setiap hasil kegiatan sebaiknya dilakukan secara periodik atau bisa juga per proyek. Tujuan pemantauan ini agar bila karyawan mengalami kesulitan/ hambatan dapat segera dibantu. Selain itu atasan dan bawahan secara formal akan bertemu untuk melakukan pembicaraan (konseling) Baru pada akhir kurun waktu,dilaksanakan penilaian prestasi kerja tahunan secara formal. Semua hasil yang dicapai dicatat, hambatan-hambatan dan kegagalan diidentifikasi dan dicari sebabnya. Pada beberapa organisasi, bawahan diminta untuk membuat analisa sendiri atas hasil yang dicapainya. Langkah selajutnya, atasan dan bawahan membahas hasil kerja dan sekaligus mencari cara untuk mengatasi hambatan pada masa berikutnya. Pada saat yang sama, bawahan biasanya sudah menyiapkan sasaran kerja ynag ingin dicapai pada periode berikutnya. Kemudian atasan membicarakan hasil penilaiannya dengan atasan yang lebih tinggi, lengkap dengan usulan atau rencana yang akan dilakukan terhadap bawahannya.
Kendala dalam penerapan Manajemen Kinerja berbasis MBS
Dalam menerapkan manajemen kinerja ada beberapa kendala yang perlu kita ketahui, yaitu:
1. perlu perubahan mendasar dalam budaya organisasi. Manajemn kinerja berbasis MBS hanya bisa sukses bilamana diteriama sebagai “budaya’ organisasi dalam arti yang luas-luasnya. Manajemen kinerja harus sudah dianggap sebagai suatu kebutuhan dan cara kerja yang dianggap sangat membantu mereka untuk sukses. Semua anggota organisasi harus punya perasaan memiliki system kerja tersebut. Untuk itu diperlukan komitmen penuh dari seluruh jajaran manajemen dan divisi sumberdaya manusia yang harus terus menerus memantau penerapannya.
2. penolakan diam-diam dari manajer dan karyawan. Masalah ini masih terkait erat dengan aspek budaya, baik budaya nasional maupun organisasi. Menurut hasil penelitian dan pengamatan pakar dan praktisi menejemen, salah astu aspek budaya Indonesia yang menghambat kemajuan bangsa ini dan pengembangan karir individu yang berkiprah dalam organisasi adalah masih rendahnya penghargaan terhadap prestasi individu. Dalam organisasi besar termasuk perusahaan (misalnya BUMN) telah menjadi suatu kesepakatan (nilai) yang tidak tertulis, bahwa’hubungan (dengan atasan) yang baik adalah lebih penting daripada prestasi kerja”. Oleh karena itu, setiap usaha mengukur prestasi secara obyektif dan terbuka selalu mengakibatkan kegelisahan dan usaha penghindaran. Masih terkait dengan hal itu, adalah bahwa keharusan untuk melakukan pembicaraan terbuka antara atasan bawahan tentang kinerja bawahan juga mengakibatkan situasi yang sama. Sistem nilai feodalistik yang masih kental menjurus pada gaya kepemimpinan “benevolen autokratik” dimana atasan harus dianggap ”bapak” dan bawaha harus selalu tergantung kepada atasan. Kondisi tersebut dapat mengubah wacana konseling menjadi dialog satu arah dimana atasan membei “pengarahan” /wejangan kepada bawahan yang hanya mengangguk angguk dan mengucapkan terima kasih (karena yang penting gaji naik dan dapat bonus).
3. fokus Manajemen kinerja yang berjangka pendek. Apabila MBS hanya diterapkan sebagai dasar bagi manajemen kinerja seringkali tidak dikaitkan dengan tujuan jangka panjang dan sasaran jangka pendek bagi perusahaan secara keseluruhan, yang menjadi keinginan dan tanggung jawab” pemimpin puncak”. Dalam kenyataannya, ini adalah salah satu kelemahan terbesar dari pengguanaan MBS sebagai dasar untuk manajemen kinerja. Pimpinan puncak mempunyai tujuan, sasaran, rencana kerja dan agenda sendiri, tetapi pada jajaran dibawahnya masing-masing menetapkan sasaran kerja sendiri yang mungkin tidak sejalan dengan tujuan dan sasaran yang ditetapkan oleh pimpinan puncak. Akibatnya dapat terjadi bahwa mayoritas karyawan mencapai sasaran masing-masing, tetapi perusahaannya mengalami kerugian paling atau paling sedikit tidak mencapai sasaran yang diinginkan. Oleh karena itu, walaupun perusahan mungkin tidak ingin terlihat menerapkan MBS secara keseluruhan dan hanya ingin menerapkan manajemen kinerja yang berbasis sasaran kerja individu (SKI) seharusnya sasaran-sasaran yang dibuat oleh setiap jajaran organisasi sejalan dengan sasaran perusahaan. Mekanisme dan sistemnya harus dipikirkan oleh pimpinan puncak dan divisi sumber daya manusia.
4. keberhasilan beberapa pekerjaan/jabatan hanya dapat diukur setelah dua sampai lima tahun. Penetapan sasaran kerja/target jangka pendek seperti ditunjuk oleh Manjemen Kinerja berdasarkan MBS belum tentu tepat untuk jabatan-jabatan tertentu. Untuk beberapa jabatan mungkin tidak tepat menetapkan sasaran jangka pendek,. karena orientasinya adalah pada hasil jangka panjang. Contohnya adalah pada bidang Research and Development yang melakukan penelitian dan pengembangan pruduk yang outputnya tidak dapat di tetapkan jangka waktu. Ada Produk yang mungkin baru dapat selesai pengembangannya setelah 18 bulan atau 2 tahun.
5. tidak semua sasaran kerja dapat dirumuskan secara kuantitatif. Untuk beberapa bidang tertentu ada kesulitan menetapkan sasaran kerja yang mempunyai standar-setandar prestasi dalam ukuran kuantitatif atau angka. Misalnya untuk bidang keuangan, akutansi, hukum dan SDM. Biasanya untuk itu terpaksa dicari-cari tolak ukur prestasi yang dapat digunakan, misalnya tanggal penyesesaian proyek/tugas. Selain itu, untuk pekerjaan tertentu seperti oprator dalam indrusti proses dan jabatan administratif pada tingkat terendah mungkin sulit mambuat sasaran-sasaran kerja perorangan yang dapat ditetapkan secara kualitatif.
6. dapat terjadi “kolusi” antara atasan dan bawahan dalam menetapkan sasaran. Pernah dan sering diketahui bahwa untuk menolong bawahannya sendiri agar tidak mendapat nilai jelek, atasan membiarkanya menetapkan sasaran-sasaran yang ringan atau tidak berbobot. Hal ini sering terjadi terutama bila penetapan sasaran terlalu dilepaskan kepada setiap jajaran tanpa ada koordinasi dari pimpinan yang lebih tinggi.
7. diperlukan latihan dan bimbingan yang sangat intensif bagi semua yang akan terlibat dari mulai cara menetapan sasaran kerja dan membuat perencanaan kerja sampai dengan cara konseling. Banyak contoh dan kejadian bahwa perusahaan menciptakan manajemen kinerja berbasis sasaran kerja individu (SKI) lengkap dengan panduan tertulis dan formulir penilainnya, tetapi kemudian setelah beberapa tahun ternyata hasilnya tidak seperti yang diharapkan, dan kata-kata mencemooh program ini sudah mulai terdengar dari para manajer lini. Semua masalah tersebut sebenarnya dapat dihindari bila penerapannya dimulai dengan pelatihan-pelatihan yang intensif yang disusul dengan program sosialisasi dan bimbingan.
ADS HERE !!!