Sebuah Renungan Untuk Para Pendidik
Pendidikan Islam, walaupun mencapai kemajuan dalam bidang sarana, namum kwalitasnya dirasakan belum memenuhi keinginan ummat. Kemerosotan itu disebabkan oleh berbagai faktor, satu diantaranya adalah ketidak fahaman terhadap tujuan Pendidikan Islam. Sebagian pendidik dan lembaga pendidikan berpandangan bahwa tujuan pendidikan adalah menyampaikan ilmu pengetahuan. Akibatnya semua usaha pendidikan hanya ditujuan untuk mentransmisikan ilmu pengetahuan kepada peserta didik.
Disamping itu terdapat pula anggapan bahwa yang dinamakan Pendidikan Islam adalah pendidikan yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman (syari'ah), sehingga berkembang angapan bahwa ilmu-ilmu selain ilmu keislaman bukanlah merupakan garapan Pendidikan Islam. Akibatnya tujuan lembaga Pendidikan Islam terbatas pada pangajaran ilmu-ilmu syari'ah.
Tulisan ini mencoba mengemukan tujuan Pendidikan Islam agar kesalah pahaman tersebut akan dapat diperbaiki, dan Pendidikan akan dapat berkembang sejalan dengan tujuan hakiki Pendidikan Islam yang sesuai dengan kehendak ajaran Islam.
Tujuan
Tujuan merupakan fitrah yang telah melekat dalam diri setiap insan. Tidak ada tindakan manusia yang tidak mempunyai tujan. Sesungguhnya perbuatan seorang yang ia lakukan tanpa sadar mempunyai tujuan, walupun ia tidak mengetahui tujuan itu. Abdur Rahman Al-Qalawi, Ushul Tarbiyah al-Islamiyah, Kairo, Darul Fikril Arabi, hal. 96
Seorang yang sedang tidur akan menarik tangannya bila ditusuk dengan jarum. Tujuannya adalah mempertahankan diri, atau berkeinginan untuk hidup.
Biasanya, semua orang yang sadar dan berakal, selalu memikirkan tujuan setiap tindakannya. Bila ia menyadari tujuan tindakannya, akan terdorong untuk melakukan perbuatan itu. Seandainya seorang menempuh sebuah jalan tanpa mengetahui sebab ia harus melewati jalan tersebut, dia tidak akan antusias lewat di jalan itu. Tapi bila ia mengetahui bahwa di ujung jalan itu ada kebun yang indah, pemiliknya ramah dan akan mengajak setiap orang yang lewat di depan kebun itu untuk makan di pinggir kolam yang ada di kebun itu, sedangkan orang yang lewat ini sedang kelaparan, maka pasti orang tersenut akan terdorong dan bersemangat melewati jalan tersebut.
Demikian pula dalam semua bidang, termasuk dalam bidang pendidikan. Seorang mahasiswa akan belajar dengan tekun sepanjang tahun, bila dalam benaknya selalu terbayang apa tujuan yang akan ia capai dengan pendidikan tersebut. Ia akan berusaha sekuat tenaga mencapai tujuan yang ia idam-idamkan.
Disamping itu tujuan juga akan mengarahkan proses sebuah kegiatan. Bila tujuan tergambar, seorang akan dapat menentukan langkah, menentukan cara dan menentukan apa yang akan diperbuat ke arah tujuan itu.
Kebutuhan terhadap tujuan
Disamping hal yang kita utarakan di atas, kebutuhan sistim dan lembaga Pendidikan Islam terhadap tujuan disebabkan oleh dua masalah penting lainnya, yaitu:
1. Sistim pendidikan yang berkembang di negara-negara Islam adalah sistim yang diimpor dari model Eropah dan Amerika. Sistim tersebut tidak serasi dengan budaya dan kebiasaan ummat di negara ini. Disamping itu sistim tersebut masuk ke dalam negara Islam sebagai bagian dari kekuasaan kolonialis, yang otomatis tujuannya sesuai dengan tujuan ekonomis kolonial itu, dan sesuai dengan dominasi politik kelompok-kelompok terdidik dan pemerintahan negara penjajah itu. Penjajah melalui sekolah yang mereka siapkan berusaha untuk melatih orang-orang terjajah untuk melakukan peran-peran penjajah. Walaupun penjajahan fisik berakhir, namun sistim pendidikan belum banyak mengalami probahan. Kurikulum, malah bahasa di sebagian negara Islam misalnya, masih sama dengan zaman pemjajahan. Malah hubungan kebudayaan antara negara bekas jajahan dengan ngara penjajah lebih kuat dibadingkan dengan zaman penajajahan. Dr. Majid Arsan Al-kailani, Ahdaf At-Tarbiyah Al-islamihah, Madinah, Maktabah Darut-Turast, 1988, hal 35.
Kekhawatiran kita terhadap budaya Barat bukan berarti kita menutup diri dari semua budaya ini, tapi kita harus mempelajarinya dengan hati-hati dan kritis, dan menganggapnya sebagai salah satu informasi. Untuk mengatasi kesensitipan interaksi budaya itu dapat dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal: (a) siapa yang kita pilih untuk berinteraksi itu; (b) pada umur berapa mereka kita bolehkan berinteraksi; dan (c) di mana tempat interaksi itu dilakukan.
2. Sebab kedua adalah bahwa sistim pendidikan di negara Islam masih merupakan penceplakan terhadap model pendidikan lama yang berkembang di negara-negara Islam. Pendidikan model lama itu belum memahami tujuan Pendidikan Islam dan tidak pula menghayati hubungan tujuan dengan proses pendidikan. Tujuan satu-satunya yang terlihat dalam pendidikan lama ini adalah mentranformasikan budaya orang tua kepada anak-anaknya tanpa melakukan pengembangan dan tanpa memperhatikan kebutuhan masa depan anak tersebut. Hal ini sama dengan apa yang diungkap Allah dalam surat Az-zuhruf ayat 22.
بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ
Oleh sebab itu kurikulum yang diberikan kepada anak-anak saat ini sama dengan apa yang diberikan pada masa yang lalu tanpa memperhatikan perbedaan kebutuhan saat ini dan masa yang lalu dan tanpa memperbadingkan probelma yang dihadapi oleh ummat masa kini dengan problema mereka masa lampau. Ibid, hal 39
Akibat ketidak pahaman tujuan ini lahirlah keterbelakangan di berbagai lembaga pendidikan Islam, baik dalam bidang kurikulum ataupun dalam bidang metode. Dan yang lebih naif lagi timbulnya dualisme, atau dikhatomi dalam sistim pendidikan kita saat ini.
Tujuan Pendidikan Islam
Bila kita ingin berbicara tentang tujuan Pendidikan Islam, kita harus melihat tujuan hidup manusia di dunia ini. Tujuan itu tertera dalam Surat Az-Zaiyat ayat 56.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنسَ إِلا لِيَعْبُدُونِي
"Aku jadikan Jin dan Manusia itu untuk beribadah kepadaku".
Beribadah itu jugalah yang menjadi tujuan yang akan dicapai oleh Pendidikan Islam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tujuan Pendidikan Islam adalah "bagaimana merealisasikan ubudiyah lillah dalam kehidupan insan, baik seca individu ataupun kelompok".Dr. Hamid Mahmud Ismail, Min Ushul Tabiyah fil Islam, Shan'a, Wizarah Atbiyah wa At-Ta'lim, l986, hal. 98
Ibadah yang dimaksudkan di sini bukanlah terbatas pada ritual-ritual Islam, seperti shalat, shiyam dan zakat, tapi lebih luas dari itu. Ibadah dalam pengeritan bahwa seseorang hanya menerima seluruh masalah kehidupannya dari Allah SWT, dalam arti bahwa ia terus menerus dalam hubungan dengan Allah SWT. Shalat, shiyam, zakat tidak lebih dari miftah ibadah/kunci ibadah, atau sebagai halte tempat menambah perbekalan bagi seorang yang sedang mengembara. Ibid, hal. 98
Sesunggunya seluruh perjalanan, mulai dari bidayah, sampai kepada nihayah adalah ibadah. Ibadah dalam pengertian seperti ini mencakup seluruh kehidupan manusia, tidak terbatas pada waktu pendek yang dipergunakan untuk ritual itu saja. Kalau itu yang dimaksud dengan ibadah oleh ayat 56 surah Azzariyat itu, tentu ayat itu tidak mempunyai makna yang mendalam. Apa artinya waktu yang babarapa menit untuk ritual itu jika dibandingkan dengan kehidupan kita yang panjang itu ! Hampir ia tidak mempunyai pengaruh apa-apa. Ayat ini baru mempunyai makna penting bila ibadah dijadikan manhaj hayah/sistim kehidupan manusia ini, dan bila ibadah itu menjadi cara berbuat, dan cara berfikir insa tersebut. Dalam arti bahwa semua perbuatan manusia harus kembali kepada Allah.
Membentuk hubungan hati manusia dengan Allah SWT, dan mendorong hati manusia untuk kembali kepada Allah pada setiap saat adalah kaedah pokok Pendidikan Islam. Dengan kaedah inilah semua masalah dilaksanakan. Tanpa kaedah ini segala perbuatan di dunia tidak mempunyai arti.
Oleh sebab itu, tujuan Pendidikan Islam berbeda dengan tujuan pendidikan lainnya, yaitu membentuk muslim yang beramal shaleh. Dalam arti bahwa manusia yang ingin diciptakan oleh Pendidikan Islam adalah insan yang dalam semua amalnya selalu berhubungan dengan Allah SWT.
Amal Shaleh
Dilihat dari implimentasinya, amal shaleh dapat dibagi kepada amal agama yang shaleh, amal sosial yang sholeh dan amal alami atau kauni yang sholeh. Namun bila dilihat dari pengaruhnya, amal shaleh dapat dikatagorikan kepada dua kelompok:
Pertama. amal yang mendatangkan kemanfaatan dan keredhaan Allah.
Kedua. amal yang bertujuan menghindarkan kemudharatan dan menjauhkan kemarahan Allah.
Individu yang melakukan kedua bentuk amal shaleh itu desebut sebagai shaleh-mushlih. Sedangkan yang hanya melakukan yang pertama saja disebut dengan shaleh. Melakukan salah satunya belumlah memadai, sebab yang pertama diperlukan untuk pengembangan dan kemajuan, sedangkan yang kedua adalah untuk menghalangi sebab-sebab kemufsadatan dan keterbelakangan. Ibid, hal. 49.
Pendidikan Islam berusaha untuk menciptakan manusia yang shaleh dan mushlih itu, dalam arti berusaha menciptakan insan yang akan berusaha melakukan kedua sisi amal shaleh tersebut. Hal ini disebabkan penegasan Allah dalam surat Al-Anfal ayat 25 yang mengatakan bahwa kehancuran tidak akan menimpa ummat yang anggotanya shaleh dan mushlih, tapi masyarakat yang anggotanya hanya shaleh saja akan dihadapkan kepada kehancuran.
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (الانفال 25)
وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ (هود 117)
Bagaimana Menciptakan individu yang beramal shaleh?
Pertanyaan yang muncul bagaimana cara Pendidikan Islam menciptakan individu yang beramal shaleh ? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus memberikan defenisi amal dan bagaimana menciptakan amal itu.
Amal dalam Pendidikan Islam adalah semua gerak yang diiringi dengan niyat. Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya setiap amal itau mempunyai niat”. Setiap gerakan tanpa niat (tujuan) tidak dinamakan amal. Bila dikhususkan kepada manusia, maka setiap gerak yang bertujuan mendatangkan kemanfaatan atau menghindarkan kemudharatan (keburukan) dinamakan oleh Al-Quran sebagai amal. Sedangkan gerak tanpa tujuan disebut Al-Quran sebagai jiryan (peredaran), seperti peredaran matahari dan bumi.
Dengan demikian, amal adalah gerak dan tujuan, atau dalam ungkapan lain kudrah dan iradah (kemampuan dan keinginan). Bila ada kemampuan dan ada pula keinginan maka akan tercipta amal.
Kudrah dapat berarti tenaga (thaqah) yang terdapat pada manusia dan hewan. Ia dapat pula berarti kemampuan untuk menundukkan alam. Ini hanya dipunyai oleh manusia. Kudrah dalam pengertian inilah yang akan diarahkan oleh Pendidikan Islam. Kemampuan untuk menundukkan ini adalah perkawinan antara kemampulan akal dengan pengalaman dan keahlian manusia dalam bidang agama, sosial dan kauni.
Sedangkan Iradah adalah keinginan individu terhadap tujuan-tujuan tertentu. Iradah ini juga suatu hal yang membedakan manusia dengan hewan.
Atas dasar ini, maka Pendidikan Islam memusatkan perhatiannya kepada pembentukan individu Muslim agar melakukan amal sholeh dalam dirinya, yaitu dengan mengembangkan kemampuan akal sampai ketingkat kematangan dan keahlian baik dalam bidang agama, sosial maupun kauni. Dalam kalimat yang lebih tergas, tujuan utama Pendidikan Islam adalah menciptakan muslim yang shaleh yang oleh banyak ulama digariskan dalam sepuluh ciri, yaitu Said Hawa, Fi Afaq At-Ta'alim, Kairo, Maktabah Wahbah 1980, hal 32
1. Berbadan sehat
2. Berakhlak baik
3. Berwawasan luas
4. Berkesanggupan berusaha
5. Berakidah lurus
6. Beribadah benar
7. Bertekad tinggi
8. Berjaga-jaga terhadap waktunya.
9. Bermanfaat bagi orang lain
10. Berketeraturan dalam semua amal
Penutup
Dari uraian di atas kita dapat mengatakan bahwa Pandidikan Islam adalah pendidikan yang syumul, yang mencakup semua segi pendidikan, baik akal, wujdan dan jasmani, atau kognitif, afektif dan psikhomotorik. Dengan demikian tujuan pendidikan juga akan mencakup seluruh aspek kehidupan manusia.
Bila individu muslim berhasil dididik menjadi manusia-manusia shaleh dan muslih, maka keluarga muslim akan tercipta dengan sendirinya, dan selanjutnya keluarga tersebut akan menjadi dasar bagi pembentukan masyarakat muslim yang baik.