Psikologi Islam sebagai sebuah kajian ilmu yang baru dikembangkan di awal tahun 60an belum banyak orang mengenal, jika dibandingkan dengan psikologi barat yang usianya telah berabad-abad. Sebagai disiplin ilmu baru, Psikologi Islam lahir sebagai antitesis terhadap berbagai madzab psikologi modern. Dalam wataknya yang terbuka saat ini, disiplin ilmu psikologi modern harus meredefinisi dirinya, sehingga Psikologi Islam bisa menjadi salah satu alternatif yang dapat ditawarkan. Meskipun Psikologi barat berfokus pada ego sebagai subjek dan objek yang menjadi landasan sentral paham hedonisme dan individualisme barat, sedangkan psikologi Islam mendasarkan pada spiritualisme, namun keduanya memiliki titik singgung yang sama yaitu manusia sebagai objek kajiannya.
Dalam psikologi barat, psikologi bekerja untuk mengurai tingkah laku, memprediksi, mengendalikan tingkah laku yang bersifat horisontal dan banyak berbicara pada perilaku yang nampak. Sementara psikologi Islam banyak berbicara pada pengubahan perilaku menjadi lebih baik dan bagaimana lebih dekat kepada Tuhan serta mengembangkan potensi kemanusiaan yang dimiliki. Hal ini merupakan 2 (dua) paradigma yang berlainan tetapi dapat disatukan dalam sebuah perbincangan dan pertemuan bangunan keilmuan yang utuh.
Meskipun baju psikologi barat nampak bolong di sana sini, kiprahnya hingga saat ini tetap dominan dan populer. Karena kekokohan dan popularitasnya banyak psikolog yang berbasis psikologi barat tidak mau mengakui kelahiran ”adik” barunya yakni psikologi Islam. Bahkan oleh sebagian mereka menganggap adik baru ini sebagai ”anak haram” yang tidak ilmiah. Sebagian mereka nampak tidak dewasa, cemburu, tidak suka dan khawatir keberadaan sang adik nantinya akan mengancam eksistensinya. Sebagian yang lain nampak lebih dewasa, bahkan menaruh harapan baru pada sang adik, psikologi Islam, yang kelahirannya didambakan oleh banyak orang. Mereka gembira menyambut kehadirannya dan menerimanya sebagai anggota barudari The big family of psychology. Sang adik diharapkan dapat menjadi madzab pelengkap dan alternatif dari madzab yang sudah ada, terutama pada tingkat psikologi terapan.
B. Potret Perkembangan Keilmuan Modern
Dalam menguraikan kembali sebuah ilmu pengetahuan kita harus melihat kembali paradigma keilmuan yang dibangun melalui jalur filsafat. Ada 3 (tiga) komponen dalam membangun sebuah ilmu dalam perspektif filsafat yaitu ontologis, epistimologis dan aksiologis. Semua komponen ini tidak dapat dilepaskan untuk mencapai tingkat kebenaran dan penerimaan dari sebuah ilmu pengatahuan.
Namun demikian perjalanan pemikiran filsafat ilmu dari sebuah keilmuan tidak dapat dipisahkan dari perkembangan jaman atau sosiokultural. Paradigma keilmuan mengalami perkembangan bahkan perdebatan pada tiap jamannya. Sebagai contoh perdebatan filosofis abad XII antara aliran empirisme Francis Bacon dengan aliran rasionalisme Rene Descartes. Bacon mengatakan bahwa sains modern harus bermula pada fakta-fakta empiris yang dapat diamati, sehingga teori dibuat berdasarkan generalisasi dari fakta-fakta tersebut (inductive hypothetic). Disatu sisi Descartes mengemukakan sains harus mendasarkan diri pada pemikiran yang berorientasi pada rasio (logika) dan menekankan pentingnya peran akal. Meskipun kemudian muncul paradigma perbauran kedua aliran tersebut oleh Newton dengan ilmu eksaktanya yang menggabungkan metode hipotetiko deduktif dan eksperimental induktif. Artinya sains modern bukan sekedar rasional ataupun empiris melainkan pengetahuan rasional empiris (rasional objektif).
Psikologi yang telah dinyatakan sebagai sebuah ilmu pengatahuan tidak lepas dari pengaruh tersebut. Psikologi bukanlah suatu produk yang statis tetapi terus berkembang dan mengalami transformasi sesuai dengan adaptasi sosio kultural dan implikasi filosofis diawal perkembangannya. Diakui atau tidak psikologi kontemporer yang kini merambah dunia sebagian besar dari peradaban barat yang berbasis pada paradigma sains eksak dan menekankan aspek empiris objektif. Kuantifikasi konsep dan konstrak aspek psikologi sangat menonjol pada era ini, bahkan sampai memenggal setengah dari perilaku manusia sehingga seakan-akan manusia bukan lagi manusia.
Sejak pertengahan abad XIX, yang didakwahkan sebagai abad kelahiran psikologi kontemporer di dunia Barat, terdapat banyak pengertian mengenai “psikologi” yang ditawarkan oleh para psikolog. Masing-masing pengertian memiliki keunikan seiring dengan kecenderungan, asumsi dan aliran yang dianut oleh penciptanya. Meskipun demikian, perumusan pengertian psikologi dapat disederhanakan dalam tiga pengertian. Pertama lebih bersifat filosofis, dimana psikologi didefinisikan sebagai studi tentang jiwa (psyche), seperti studi yang dilakukan Plato (427-347 SM.) dan Aristoteles (384-322 SM.) tentang kesadaran dan proses mental yang berkaitan dengan jiwa. Pengertian kedua yang mencoba memisahkan disiplin filsafat dengan psikologi memberikan definisi psikologi sebagai ilmu pengetahuan tentang kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi, intelegensi, kemauan, dan ingatan. Definisi ini dipelopori oleh Wilhelm Wundt. Sedangkan pengertian ketiga yang mencerminkan psikologi sebagai ilmu yang mandiri mengartikan psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku organisme, seperti perilaku kucing terhadap tikus, perilaku manusia terhadap sesamanya, dan sebagainya. Definisi yang terakhir ini dipelopori oleh John Watson.
Disamping adanya pengaruh aliran filsafat yang sangat menonjol, perkembangan atau lahirnya sebuah ilmu juga tidak terlepas dari kondisi sosio kutural para pemikir dan penggagas ilmu pengatahuan. Secara historis perkembangan ilmu pengatahuan didorong oleh sistem kapitalis yang dikatakan oleh Sal Restivo sebagai modern science as a social problem karena kehadirannya sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem feodal yang justru dapat mengancam kualitas hidup manusia, nilai-nilai demokrasi dan kelangsungan bumi dan isinya.
Perkembangan ilmu juga berkaitan dengan berkembangnya madzab dunia yang secara bersamaan melahirkan madzab sekularisme dan sosialisme sebagai reaksi terhadap dominasi gereja terhadap kehidupan politik dan penindasan para ilmuwan dan filsuf. Kasus-kasus Galileo Galilei dan Nicolas Copernicus yang mendapat siksaan karena temuannya bertentangan dengan ajaran gereja. Begitu pula kasus Giordano Bruno yang dibakar hidup-hidup karena meyakini bumi mengitari matahari bukan mengitari mahkota paus.
Psikologi sebagai keilmuan yang memberikan perhatian terhadap perilaku manusia juga mengalami masa bumingnya ketika dikaitkan dengan lontaran Charles Darwin tentang teori evolusi yang menggetarkan dunia. Ia memperkuat gagasan perlunya memahami manusia dalam perspektif materialistik. Gagasan ini semakin berkembang dengan makin digunakannya prinsip positivistik dalam memandang manusia setelah ditinggalkannya fase teologi dan metafisik.
Melihat banyaknya elemen yang mempengaruhi perkembangan sebuah ilmu termasuk psikologi, maka kita perlu kembali merenungkan keberadaan ilmu psikologi yang telah berkembang lebih dari 1 (satu) abad ini. Pertanyaan-pertanyaan yang mencoba mempertanyakan kembali mainstrem psikologi yang telah berkembang dari peradaban barat merupakan salah satu bentuk kritik yang mencoba menempatkan ilmu psikologi dalam jalur yang benar sesuai dengan fungsi keilmuan untuk kesejahteraan umat manusia.
ADS HERE !!!