Pada prinsipnya kewenangan melakukan penuntutan hadir seketika ada dugaan terjadinya tindak pidana. Disini dianggap bahwa kepentingan umum dianggap langsung terkena sehingga pihak yang terkena tindak pidana itu harus menerima adanya penuntutan sekalipun ia sendiri tidak menghendakinya. Namun demikian terdapat beberapa hal yang menjadi dasar atas gugurnya kewenangan jaksa untuk melakukan penuntutan menurut KUHP adalah :
a. Tidak adanya pengaduan dalam hal delik aduan (pasal 72-75 KUHP)
b. Ne bis in idem (pasal 76 KUHP)
c. Matinya terdakwa (pasal 77 KUHP)
d. Daluwarsa (pasal 78 KUHP)
e. Telah ada pembayaran denda maksimum kepada pejabat tertentu untuk pelanggaran yang hanya diancam dengan denda saja (pasal 82 KUHP).
Sementara ketentuan diluar KUHP adalah :
a. Abolisi
b. Amnesti
Delik Aduan.
Kewenangan melakukan penuntutan pada prisipnya tidak berhubungan dengan kehendak perorangan kecuali dalam beberapa delik tertentu diantaranya perzinahan (pasal 284), persetubuhan terhadap anak dibawah umur (pasal 287-288), untuk melarikan wanita (pasal 332), pencemaran nama baik (319) dan lain-lain.
I.1. Bentuk Delik Aduan
Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, delik aduan dibagi dalam dua bentuk :
a. Delik Aduan Absolut
Dalam hal dianggap bahwa kepentingan orang yang terkena tindak pidana itu melebihi kerugian yang diderita oleh umum, maka hukum memberikan pilihan kepadanya untuk mencegah atau memulai suatu proses penuntutan.
Misal :
Seorang perempuan muda yang telah disetubuhi boleh memilih untuk menikahi laki-laki yang menyetubuhinya daripada pelaku dijatuhi pidana.
Delik aduan absolute ini dapat dijumpai antara lain dalam ketentuan pasal 293 (perbuatan cabul terhadap anak dibawah umur) pasal 322 (pelanggaran kewajiban menyimpan rahasia), pasal 335 (1) & (2) (perbuatan tidak menyenangkan) atau pasal 369 (pengancaman).
b. Delik Aduan relative
Karakter delik aduan ini tidak terletak pada sifat kejahatan yang dilakukan melainkan pada hubungan antara pelaku / pembantu dan korban. Baik hubungan karena keturunan / darah atau dalam hal hubungan perkawinan. Dalam hal relasi antara sifat keperdataan yang lahir dari h8ubungan tersebut dapat menjadi alasan dalam mencegah terjadinya penuntutan. Kebanyakan delik-delik ini terkait dengan delik dibidang harta benda (pasal 367 KUHP).
II.2. Yang berhak mengadu (subyek).
Ketentuan umum dalam pasal 72 KUHP menentukan :
1) Jika ybs. Belum 18 th / belum cukup umur / dibawah pengampunan (pasal 72) :
· Oleh wakil yang sah dalam perkara perdata;
· Wali pengawas / pengampu
· Istrinya
· Keluarga sedaraj garis lurus
· Keluarga sedarah garis menyimpang sampai derajat ke-3
2) Jika ybs meninggal pasal 73 oleh :
· Orang tuanya
· Anaknya, atau
· Suami / istri (kecuali ybs tidak menghendaki).
Disamping ketentuan umum tersebut diatas , ada pula ketentuan-ketentuan khusus, misalnya :
v Untuk perzinahan (pasal 284).
Yang berhak mengadu hanya suami / istri yang tercemar (ketentuan pasal 72 dan 73 diatas tidak berlaku).
Penarikan kembali pengaduan dapat dilakukan, sewaktu-waktu, selama pemeriksaan dalam siding pengadilan belum dimulai (ayat 4). Jadi ketentuan pasal 75 KUHP tidak berlaku.
v Untuk melarikan wanita (pasal 332)
Yang berhak mengadu :
Ø Jika belum cukup umur oleh : wanita ybs, atau orang yang harus memberi ijin bila wanita itu kawin
Ø Jika sudah cukup umur, oleh : wanita ybs, atau suaminya.
II.3. Tenggang waktu pengajuan pengaduan (pasal 74)
a. Bertempat tinggal di Indonesia 6 bulan sejak mengetahui
b. Bertempat tinggal di luar Indonesia 9 bulan sejak mengetahui adanya kejahatan.
II.4. Penarikan kembali aduan.
Dibuatnya suatu pengaduan tidak dengan serta merta berarti bahwa ijin memberikan kewenangan penuntutan dilakukan secara final. Memang selayakanya pengaduan mencakup pelaporan (aangifte) dengan permohonan dilakukannya penuntutan (verzoek tot vervolging). Bila pengaduan sudah disampaikan, pada dasarnya jaksa penuntut umum tak perlu menunggu lewatnya daluarsa menarik adauan, meskipun undang-undang memberikan jangka waktu 3 bulan (pasal 75). Akan tetapi jika aduan tersebut ditarik kembali, maka kewenangan menuntut menjadi hapus.
B. NE BIS IN IDEM (PASAL 76)
Arti sebeanarnya dari neb is in idem ialah “tidak atau jangan dua kali yang sama”. Sering juga digunakan istilah “nemodebet bis vexari” (tidak seorangpun atas perbuatnya dapat diganggu / dibahayakan untuk kedua kalinya) yang dalam literature Angka Saxon diterjemahkan menjadi “No one could be put twice in jeopardy for tha same offerice”.
Dasar pikiran atau ratio dari azas ini ialah :
a) Untuk menjaga martabat pengadilan (untuk tidak memerosotkan kewibawaan Negara);
b) Untuk rasa kepastian bagi terdakwa yang telah mendapat keputusan.
Diakuinya azas Neb is in idem ini terlihat dalam rumusan pasal 76 KUHP yang berbunyi (ayat (1) sub 1) sbb :
“Kecuali dalam hal putusan haikm masih mungkin diulangi (herzeining), orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap”.
Dengan demikian penuntutan terhadap seseorang dapat hapus berdasar neb is in idem, apabila dipenuhi syarat-syarat sbb :
Ø Ada putusan yang berkekuatan hukum tetap;
Ø Orang terhadap siap putusan itu dijatuhkan adalah sama;
Ø Perbuatan (yang dituntut kedua kali) adalah sama dengan yang pernah diputus terdahulu itu.
Dengan adanya syarat ini berarti terhadap putusan tersebut harus sudah tidak ada alat hukum / upaya hukum (rechtsmiddel) yang dapat dipakai untuk merubah keputusan tersebut. Ada pendapat bahwa peninjauan kembali (herzeining) merupakan salah satu upaya hukum, sehingga pengecualian yang tersebut dalam pasal 76 itu (yaitu adanya herzeining merupakan pengecualian terhadap azas ne bis in idem) sebenarnya tidak perlu. Jadi menurut pendapat ini, dengan adanya herzeining berarti putusan itu memang belum berkelanjutan dari tuntutan hukum yang pertama, jadi bukan merupakan tuntutan hukum yang kedua kali.
B.1. Adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap;
Keputusan hakim (yang berkekuatan hukum tetap) yang dimaksud disini adalah keputusan terhadap perbuatan atau perkara ybs, yaitu yang dapat berupa :
I. Pembebasan (vrijspraak) pasal 191 (1) KUHAP (dulu 313 RIB).
II. Pelepasan dari segala tuntutan hukum (ontslag van allerechtvervolging) pasal 191 ayat (2) KUHAP (dulu 314 RIB);
III. Penjatuhan pidana pasal 193 ayat (1) KUHAP (dulu 315 RIB).
Jadi keputusan-keputusan tersebut sudah mengandung penentuan terbukti tidaknya tindak pidana atau kesalahan terdakwa. Azas ne bis in idem tidak berlaku untuk keputusan hakim yang belum berhubungan dengan pokok perkara, yang biasanya disebut “penetapan-penetapan” (beschikking), misalnya :
a. Tentang tidak berwenangnya hakim untuk memeriksa perkara yang bersangkutan;
b. Tentang tidak diterimanya tuntutan Jaksa karena terdakwa tidak melakukan kejahatan;
c. Tetang tidak diterimanya perkara karena penuntutan sudah daluwarsa.
Adanya penetapan-penetapan serupa itu tidak merupakan alasan untuk adanya neb is in idem. Jadi pasal 76 KUHP tidak mengenai penetapan-penetapan. Perlu pula diperhatikan bahwa putusan-putusan hakim seperti dikemukakan diatas adalah putusan yang menyangkut perkara pidana, jadi keputusan mengenai hukum pidana.
Apabila misalnya seorang pengendara motor menabrak penjual soto dan dia dituntut secara perdata untuk memberi ganti rugi, maka putusan hakim mengnai hal ini tidak menghalangi untuk dilakukannya penuntutan dalam perkara pidananya. Jadi dalam hal ini tidak ada neb is in idem.
Begitu pula sebaliknya, apabila yang diputus adsalah perkara pidananya lebih dulu, maka putusan ini tidak merupakan alasan untuk neb is in idem dalam perkara gugatan perdata. Jadi tegasnya pasal 76 KUHP hanya berlaku untuk perkara-perkara pidana.
Adanya keputusan hakim yang menjadi syarat neb is in idem ini tidak hanya keputusan hakim Indonesia, tetapi dapat juga keputusan hakim Negara lain (hakim asing). Hal ini disebut dalam pasal 76 (2) dengan syarat putusan hakim asing tersebut harus berupa :
a) Putusan yang berupa pembebasan;
Dengan syarat-syarat diatas, maka apabila keputusan hakim asing yang berupa pemidanaan baru sebagian dijalani, maka orang tersebut di Indonesia dapat dituntut lagi. Dalam pengertian “telah dijalani seluruhnya” putusan hakim asing itu, menurut Pompe termasuk pidana bersyarat (V.V. = voorwaardelijke veroordelling) dan pelepasan bersyarat (V.I. = voorwaardelijke invrijheidstelling).
b) Putusan yang berupa pelepasan dari tuntutan hukum;
Orang yang dituntut harus sama. Ini merupakan segi subyektif dari persyaratan neb is in idem. Apabila misalnya A dan B melakukan tindak pidana bersama-sama, akan tetapi yang tertangkap dan dituntut pidana baru A, maka dalam hal B kemudian tertangkap ia tetap masih dapat dituntut walaupun misalnya A dibebaskan.
c) Putusan berupa pemidanaan :
- Yang sekuruhnya telah dijalani, atau
- Yang telah diberi ampun (grasi), atau;
- Yang wewenang untuk menjalankannya telah hapus karena kadaluwarsa.
B.2. Perbuatan (yang dituntut kedua kali) adalah sama dengan yang pernah diputus terdahulu itu.
Harus ada feit / perbuatan yang sama. Ini segi obyektif dari neb is in idem (objective identiteit). Masalah ini merupakan masalah yang paling sukar, seperi halnya dijumpai dalam concursus/ gabungan tindak pidana.
Misal :
A melakukan pemerkosaan dijalan umum (pasal 285 dan 281). Seandainya Jaksa hanya menuntut berdasar pasal 285 (perkosaan) saja dan ternyata tidak terbukti, sehingga terdakwa lepas dari segala tuntutan, maka apakah Jaksa masih dapat menuntut yang kedua kalinya berdasar pasal 281 (melanggar kesusilaan dimuka umum) ? dan pakah putusan yang pertama merupakan res judicata (putusan yang neb is in idem)?
Jawaban terhadap masalah ini tergantung atau berkisar pada apa yang dimaksud dengan “feit”. Kalau kasus diatas dipandang sebagai concursus realis, sehingga dapat dikatakan terdakwa melakukan beberapa perbuatan, maka dimungkinkan ada penuntutan lagi. Akan tetapi apabila dipandang sebagai concursus idealis, dimana hanya dipandang ada satu perbuatan, maka hanya dimungkinkan adanya satu kali penuntutan saja.
Catatan :
- Apabila dipandang sebagai concursus realis, maka tidak ada neb is in idem;
- Apabila dipandang sebagai concursus idealis, maka ada neb is in idem;
Dalam yurisprudensi, ajaran feit materiil pada neb is in idem telah ditinggalkan pada tahuan 1932, yaitu dengan Arrest HR 27 Juni 1932.
Kasusnya : Orang yang sedang mabuk ditempat umum mengganggu ketentraman umum, telah memukul dada dan menendang kaki seorang anggota polisi yang sedang menjalankan tugasnya.
Mula-mula terdakwa diputus dan dipidana karena menganiaya polisi (pasal 356 sub. 2), kemudian oleh jaksa dituntut lagi mengenai menggangu ketentraman umu dalam keadaan mabuk (pasal 492). Tuntutan kedua ini oleh pengadilan diterima dan terdakwa dijatuhi pidana. Terdakwa banding, dan pengadilan tinggi menyatakan ada ne bis in idem. Jaksa mengajukan kasasi ke Hoge Raad dengan mengatakan bahwa perbuatan terdakwa itu merupakan dua perbuatan dipandang dari sudut hukum pidana, jjadi disini tidak ada perbuatan yang sama, seperti dimaksud dalam pasal 76 HR melihat disini juga ada 2 perbuatan yang mempunyai cirri yang berlainan, sehingga tuntutan jaksa dapat diterima.
Persoalan feit / perbuatan pada pasal 76, disamping berlkaitan erat de4ngan masalah concursus, juga berhubungan dengan masalah, alternativitas dalam tuduhan dapat meliputi masalah :
a. Perbuatannya/ketentuan yang dilanggar :
Misal : perbuatan A sebenarnya dapat dikualifisir dalam 3 kemungkinan yaitu :
1) Dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain (pasal 338),
2) Karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain (pasal 359),
3) Dengan sengaja menganiaya yang berakibat mati (pasal 351 ayat (3)).
b. Waktu terjadinya tindak pidana
Misal seorang dituntut telah melakukan pencurian pada tgl 1 Juni 1979, tetapi didalam surat tuduhan tercantum tgl 1 Juli 1979. apabila terdakwa dibebaskan unutk tuduhan pencurian tercantum tgl. 1 Juni, Jaksa tidak dapat menuntut lagi berdasar tgl. Yang betul. Disini ada neb is in idem. Dalam hala ini sebenarnya sebelum ada putusan, jaksa dapat mengajukan permintaan unutk “merubah surat tuduhan berdasar pasal 282 HIR, asal Feitnya tetap.
c. Tempat terjadinya tindak pidana.
Misal semula terdakwa dituduh mencuri di taman Diponegoro, kemudian dibebaskan. Jaksa kemudian mengajukan tuduhan lagi. Berdasar tempat pencurian yang sebenarnya dilakukan yaitu di Stadion Diponegoro. Disinipun ada neb is in idem.
Kesukaran dan ketidakpastian yang ditimbulkan oleh perkataan ”feit” dirubah menjadi “strafbaar feit”. Dengan perubahan ini menurut Pompe, penerapan pasal 76 lebih mudah. Namun diakui bahwa itu berarti menyempitkan berlakunya pasal 76, artinya kemungkinana penuntutan kembali menjadi longgar. Tetapi menurut Pompe, halangan dalam penuntutan baru, dapat lebih merugikan kepentingan umum dari pada mengulangi percobaan untuk penerapan undang-undang pidana dengan setepat-tepatnya.