Hal ini wajar karena KUHP berpendirian bahwa yang dapat menjadi subyek hukum hanyalah orang dan pertanggungan jawab bersifat pribadi. Dalam hal ini tidak ada suatu tanggungjawab pidana diwariskan. Konsekwensi dari pemikiran ini adalah bahwa kematian seorang tersangka atau terdakwa menyebabkan kewenangan seorang Jaksa penuntut menjadi gugur. Sementara kematian seseorang terpidana menyebabkan kewajiban menjalankan pidana menjadi terhapuskan.
B. DALUWARSA (VERJARING).
D.1 Daluwarsa Penuntutan.
Ditetapkannya lemabga daluarsa penuntutan dalam KUHP pada dasarnya dilandasi oleh beberapa pemikiran yaitu :
v Dalam kenyataannya perputaran waktu tidak hanya secara perlahan menghapuskan akibat tindak pidana yang terjadi akan tetapi juga mengahpuskan keinginan untuk melakukan pembalasan.
v Berjalannya waktu sekaligus menghapuskan jejak-jejak tindak pidana yang menyebabkan kesulitan pembuktian.
v Bahwa pelaku setelah bertahun-tahun menyembunyikan diri sudah cukup terhukum dengan kehidupan yang tidak tenang dan penuh kecemasan.
Namun demikian yang utama dari ketiga lasan itu adalah kebutuhan untuk memidana dan kesulitan pembuktian menjadi alasan utama. Karena itu adagium punier non (simper) necesse est (menghukum tidak selamanya perlu) menajdi dasar dari keberadaan lembaga ini.
D.1.1. Tenggang Waktu Daluwarsa Penuntutan.
Tenggang waktu daluwarsa ditetapkan dalam pasal 78 (1), yaitu :
· Untuk semua pelanggaran dan kejahatan percetakan : sesudah 1 tahun;
· Untuk kejahatan yang diancam denda, kurungan atau penjara maksimum 3 tahun : daluwarsanya sesudah 6 tahun;
· Untuk kejahatan yang diancam pidana penjara lebih dari 3 tahun daluwarsanya 12 tahun;
· Untuk kejahatan yang diancam pidana mati atau seumur hidup : daluwarsanya sesudah 18 tahun.
Menurut pasal 79, tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalm hal-hal tertentu yang disebut dalam pasal tersebut yang menyangkut vorduurende delict (delik berlangsung terus lihat penjelasan dalam bab tetang jenis delik). Adapun yang diatur dalam pasal 79 adalah :
- Kejahatan terhadap mata uang (pasal 244) perhitungan daluwarsa didasarkan pada waktu setelah uang dipakai atau diedarkan;
- Kejahatan terhadap kemerdekaan seseorang (pasal 328, 329, 330 dan 333), daluwarsa dihitung keesokan hari setelah orang tersebut dibebaskan atau ditemukan meninggal dunia;
- Kejahatan terhadap register kependudukan (pasal 556-558 a), sehari setelah data tersebut dimasukkan dalam catatan register.
D.1.2. Pencegahan dan penangguhan.
a. Pencegahan (stuiting).
Menurut pasal 80 (1) tenggang daluwarsa terhenti / tercegah (gestuit) apabila ada tindakan penuntutan (daad van vervolging). Pada mulanya tindakan penuntutan diartikan secara luas yaitu mencakup juga tindakan-tindakan pengusutan (daad van opsporing). Tetapi yurisprudensi kemudian menerima pendapat yang lebih sempit, yaitu hanya perbuatan-perbuatan penuntut umum yang langsung menyangkutkan hakimdalam acara pidana (misal menyerahkan perkara ke siding, mendakwa / mengajukan tuduhan, memohon revisi), jadi tindakan pengusutan tidak lagi dianggap termasuk tindakan penuntutan. Menurut pasal 80 (2) sesudah terjadinya pencegahan (stuiting) mulai berjalan tenggang daluwarsa yang baru, jadi selama terhentinya selama ada tindakan penuntutan tenggang waktunya tidak dihitung.
b. Penangguhan (scorsing).
Menurut pasal 81 (1) tenggang daluwarsa penuntutan tertunda/tertangguhkan (geschorst) apabila ada perselisihan praejudisiil, yaitu perselisihan menurut hukum perdata yang terlebih dulu harus diselesaikan sebelum acara pidana dapat diteruskan. Dalam hal ada penundaan/pertangguhan (schorsing) maka tenggang waktu yang telah dilalui, sebelum diadakannya penundaan, tetap diperhitungkan terus. Hanya saja selama acara hukum perdata berlangsung dan belum selesai, tenggang daluwarsa tuntutan pidana, dipertangguhkan. Hal ini dimaksudkan agar terdakwa tidak diberi kesempatan untuk menunda-nunda penyelesaian perkara perdatanya dengan perhitungan dapat dipenuhinya tenggang daluwarsa penuntutan pidana.
D.2. Daluwarsa Pemidanaan.
Sama dengan daluarsa penuntutan maka landasan pemikiran atas daluarsa pemidanaan didasarkan kepada dua hal yaitu :
1. dalam kenyataannya perputaran waktu tidak hanya secara perlahan menghapuskan akibat tindak pidana yang terjadi akan tetapi juga menghapuskan keinginan unutk melakukan pembalasan
2. bahwa pelaku setetlah bertahun-tahun menyembunyikan diri sudah cukup terhukum dengan kehidupan yang tidak tenang dan penuh kecemasan.
Perbedaannya disini adalah alasan kesulitan pembuktian tetunya tidak lagi relevan disini.
D.2.1. Daluwarsa kewenangan menjalankan pidana.
Tenggang waktu daluwarsanya diatur dalam pasal 84 (2), yaitu :
v untuk semua pelanggaran : daluwarsanya 2 tahun.
v Untuk kejahatan percetakan : daluwarsanya 5 tahun.
v Untuk kejahatan lainnya : daluwarsanya sama dengan daluwarsa penuntutan (lihat pasal 78 ) ditambah sepertiga.
Pada ayat (3) ditetapkan bahwa :
“tidak ada daluwarsa untuk kewenangan mejalankan hukuman mati”.
Menurut pasal 85 (1) tenggang daluwarsa dihitung mulai pada keesokan harinya sesudah putusan hakim dapat dijalankan. Ini tidak sama dengan putusan hakim yang inkracht van gewijsde (putusan ayat berkekuatan tetap). Pada umumnya memang putusan hakim yang berkakuatan hukum tetap. Tetapi ada putusan hakim yang sudah dapat dieksekusi sebelum keputusan itu berkekuatan tetap, yaitu “verstek-vonnis” (keputusan diluar hadirnya terdakwa).
D.2.2. Pencegahan Dan Penagguhan Daluwarsa Pemidanaan.
a. pencegahan (stuiting)
pencegahan (stuiting) terhadap daluwarsa hak untuk menjalankan / mengeksekusi pidana dapat terjadi dalam dua hal (pasal 85 ayat (2)) yaitu :
1) Jika terpidana melarikan diri selama menjalani pidana.
Dalam hal ini, tenggang daluwarsa baru dihitung pada keesokan harinya setelah melarikan diri.
2) Jika pelepasan bersyarat dicabut
Dalam hal ini, maka pada esok harinya setelah pencabutan, mulai berlaku tenggang daluwarsa baru.
Dengan demikian selama ada pencegahan, maka jangka lewat waktu yang telah dilalui hilang sama sekali (tidak dihitung).
b. penagguhan (schorsing).
Penundaan (schorsing) terhadap daluwarsa hak untuk mengeksekusi pidana dapat terjadi dalam dua hal (pasal 33 ayat (3) yaitu :
Ø selama perjalanan pidana ditunda menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Ø selama terpidana dirampas kemerdekaannya (ada calon tahanan), walaupun perampasan kemerdekaan itu berhubung dengan pemidanaan lain.
A. Ketentuan Gugurnya Kewenangan Menuntut Dan Menjalankan Pidana di luar KUHP.
E.1. Grasi.
Grasi tidak menghilangkan putusan hakim ybs. Keputusan hakim tetap ada, tetapi pelaksanaannya dihapuskan atau dikurangi / diringankan. Jadi grasi dari presiden, dapat berupa :
· Tidak mengeksekusi seluruhnya,
· Hanya mengeksekusi sebagian saja
· Mengadakan komutasi yaitu jenis pidananya diganti, misal penjara diganti kurungan, kurungan diganti dengan denda, pidana mati diganti penjara seumur hidup.
Dasar pemikiran lembaga grasi menurut Remelink adalah keadaan pada waktu hakim menjatuhkan putusan tidak atau kurang diperhatikan atau mungkin pertimbangan dan yang bila (secara memadai sebelumnya ia keathui, akan mendorongnya menjatuhkan pidana atau tindakan lain atau bahkan untuk tidak menjatuhkan sanksi sekalipun. Grasi dapat dikabulkan manakala hukuman yang dijatuhkan dianggap tidak akan mencapai tujuan atau sasaran pemidanaan itu sendiri.
Perihal prosedur Grasi diatur dalam undang-undang 22 tahun 2002, menurut ketentuan pasal 2 ayat (2) grasi hanya dapat dimohonkan bagi terpidana yang dijatuhi pidana mati, penjara seumur hidup, penjara paling rendah 2 tahun. Dalam pasal 2 ayat (3) permohonan grasi hanya dapat diajukaqn 1 (satu) kali, kecuali dalam hal :
I. Terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut;
II. Terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima.
Sementara pasal 3 permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati.
Permohonan grasi oleh terpidana atau kuasa hukumnya atau oleh keluarga terpidana, dengan persetujuan terpidana (pasal 6 (1-2)) kecuali dalam hal terpidana dijatuhi pidan mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana (pasal 6 ayat (3)).
Permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan pasal 7 diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya kepada Presiden. Salinan permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Permohonan grasi dan slinannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat disampaikan oleh terpidana melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (3), Kepala Lembaga Pemasyarakatan menyampaikan permohonan grasi tersebut kepada Presiden dan salinannya dikirimkan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama paling lambat 7 hari terhitung sejak diterimanya permohonan grasi dan salinannya.
Dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) haru terhitung sejak tanggal penerimaan salinan permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, penagdilan tingkat pertama mengirimkan salinan permohonan dan berkas perkara terpidana kepada Mahkamah Agung. Dan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tigta) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan dan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 9, Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan tertulis kepada Preisden. Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Jangka waktu pemberian atau penolakan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung, keputusan Presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi.
E.2. Amnesti.
Amnesti dapat didefinisikan sebagai pernyataan umum (yang diterbitkan dalam suatu aturan perundang-undangan) yang memuat pencabutan senua akibat pemidanaan dari suatu delik tertentu atau satu kelompok delik tertentu, demi kepentingan semua terpidana maupun bukan, terdakwa ataupun bukan, mereka yang identitasnya diketahui ataupun tidak namun bersalah melakukan tindakan tersebut. Oleh karena itu amnesti mencakup perkara dalam fase ante sentantiam (sebelum dijatuhkanya putusan) maupun post sentantiam (pasca proses ajudikasi).
Dalam praktek amnesti diberikan karena alasan politik.
E.3. Abolisi.
Seperti halnya grasi dan amnesti, abolisi merupakan hak prerogative presiden yang ditetapkan dalam UUD 1945 sebelum perubahan. Abolisi mengandung pengertian penghapusan yang diberikan kepada perseorangan yang mencakup penghapusan seluruh akibat penghukuman seluruh akibat penjatuhan putusan, termasuk putusan itu sendiri. Abolisi dengan demikian berlaku ante sentiam yang berkaitan dengan dilepaskannya kewenangan melakukan penuntutan atau pelanjutan dari penuntutan yang sudah dimulai.