Adanya bencana alam La-Nina pada tahun 1998/99, telah menyebabkan produksi garam nasional mengalami penurunan yang luar biasa dan menyebabkan kelangkaan garam sampai dengan tahun 2001. Selama itu, industri yang tadinya juga menggunakan bahan baku yang sebagian berasal dari garam rakyat telah terbiasa dengan garam import yang tinggi mutunya, sehingga saat supply pulih kembali masih enggan untuk menggunakan bahan baku yang berasal dari garam rakyat yang rendah mutunya (meskipun murah).
Adanya kelebihan produksi sekitar 0,2 juta ton / tahun (kebanyakan garam rakyat dipergunakan untuk konsumsi) tersebut menyebabkan petani garam mengeluh, karena industri enggan menerima garam rakyat. Hal ini yang menyebabkan diterbitkannya SK Menperindag no. 360/MPP/Kep/5/2004 yang mulai berlaku sejak 1 Juli 2004, yang mengatur tentang (1) kewajiban bagi industri yang mengimpor garam (importir terdaftar garam) untuk membeli 50% kebutuhannya dari garam lokal terlebih dahulu, (2) dilarang mengimpor garam pada masa tertentu (1 bulan sebelum panen, selama panen dan 2 bulan setelah panen garam rakyat), serta dilarang mengimpor garam bila harga garam rakyat terlalu rendah (dibawah Rp.145.000/ton untuk mutu K1, Rp.100.000/ton untuk K2, dan Rp.70.000 untuk K3).
Bagi industri pengguna garam besar diatas, terbitnya SK. No. 360/MPP/Kep/5/2004 (pengaturan tambahan dan serta-merta ini) dianggap berpotensi menghambat kelancaran produksinya, karena beberapa industri hanya mempunyai stok garam untuk keperluan 1-1,5 bulan ke depan saja (diperlukan waktu cukup lama untuk mengimpornya). Pada saat kejelasan tentang perusahaan mana dan bagaimana prosedurnya untuk dapat menjadi importir terdaftar garam tersebut belum ada, salah satu perusahaan (Susanti Megah) bahkan telah dipanggil polisi untuk dimintai keterangan karena pelanggaran, sementara SK no. 360 tersebut baru mulai berlaku sejak 1 Juli 2004.
Upaya untuk meningkatkan mutu dan jumlah garam rakyat yang diproduksi juga mengalami banyak kendala, antara lain : (1) makin buruknya mutu air laut sebagai bahan baku pembuatan garam, (2) makin sempit dan kecilnya petak-petak ladang garam karena kepemilikan per orang/penguasaan lahan yang terbatas, (3) bersaing dengan penggunaan lahan yang lebih produktif, (4) lamanya musim hujan dan tingginya curah hujan pada waktu tertentu, (5) makin tingginya biaya produksi di saat harga garam rakyat jatuh, dll.
ADS HERE !!!