Berdasarkan analisis PKSPL IPB, 2006 diperkirakan potensi ekonomi perhubungan laut, sekitar 14,78 miliar dolar AS per tahun. Namun ini masih sekedar potensi, karena faktanya kita mengeluarkan biaya (devisa) sebesar lebih kurang 10 miliar dollar AS untuk membiayai kegiatan transportasi ekspor-impor yang 97 persen menggunakan kapal berbendera asing dan 50,15 persen kegiatan transportasi domestik yang juga masih dikuasai oleh pelayaran asing
Sementara itu di jasa penyediaan tenaga kerja pelaut, potensinya pun luar biasa besarnya. Kebutuhan pelaut dunia pada 2000 sebanyak 1,32 juta orang dengan gaji mencapai 18 miliar dolar AS per tahun. Indonesia baru memasok 34 ribu orang (3 persen). Sedangkan Filipina 191 ribu pelaut (25 persen) dan RRC 104 ribu pelaut (10 persen). Belum lagi potensi ekonomi dari sektor industri dan jasa maritim.
Kusumastanto (2003), Indonesia memerlukan kebijakan transportasi laut yang berpihak pada kepentingan armada pelayaran nasional sehingga sektor ini diharapkan agar berperan penting dalam dunia perdagangan internasional maupun domestik. Transportasi laut juga membuka akses dan menghubungkan wilayah pulau, baik daerah sudah yang maju maupun yang masih terisolasi. Sebagai negara kepulauan (archipelagic state), Indonesia memang amat membutuhkan transportasi laut.
Vallega (2001) dalam perspektif geografis mengingatkan bahwa tantangan globalisasi yang berkaitan dengan kelautan adalah transportasi laut, sistem komunikasi, urbanisasi di wilayah pesisir, dan pariwisata bahari. Karena itu diperlukan kebijakan kelautan (ocean policy) yang mengakomodasi transportasi laut di sebuah negeri bahari.
Perkembangan transportasi laut di Indonesia sampai saat ini masih dikuasai oleh pihak asing. Di bidang transportasi laut, Indonesia ternyata belum memiliki armada kapal yang memadai dari segi jumlah maupun kapasitasnya.
Data tahun 2001 menunjukkan, kapasitas share armada nasional terhadap angkutan luar negeri yang mencapai 345 juta ton hanya mencapai 5,6 persen. Adapun share armada nasional terhadap angkutan dalam negeri yang mencapai 170 juta ton hanya mencapai 56,4 persen. Kondisi semacam ini tentu sangat mengkhawatirkan terutama dalam menghadapi era perdagangan bebas.
Sampai tahun 2001 tercatat ada 1.762 perusahaan pelayaran. Dari jumlah tersebut, perusahaan pelayaran yang memiliki kapal berbobot sampai 174 gross ton (GT) ada 126 perusahaan, yang memiliki 175 GT-4.999 GT ada 6.070 perusahaan, dan 5.000 GT ada 129 perusahaan. Sisanya adalah sebanyak 809 perusahaan pelayaran yang kondisinya tidak memiliki kapal atau hanya mencarter.
Perusahaan pelayaran yang mempunyai kapal adalah PT Pelni dengan 44 kapal, Pertamina (35 kapal), Meratus (19 kapal), PT Arpeni (18 kapal), Berlian Laju Tanker (9 kapal), dan PT Pusri dan Bahtera Adiguna masing-masing 7 kapal (Dirjen Hubla). Anehnya, perusahaan yang memiliki kapal bukan perusahaan yang benar-benar memiliki core business dalam angkutan laut, tetapi mereka mengoperasikan kapal tersebut sebagai sarana penunjang kegiatan industrinya.
Dominasi pelayaran asing terlihat dari muatan (freight) kapal asing yang mengangkut muatan luar negeri (ekspor/impor), yakni menguasai muatan sebanyak 92,5 persen (322,5 juta M/T). Adapun muatan dalam negeri, kapal asing menguasai 50 persen dari seluruh angkutan total barang (89,8 juta M/T). Hal ini berarti perusahaan pelayaran nasional kebanyakan hanya menjadi agen dari kapal-kapal pelayaran asing. Dampaknya adalah bangsa Indonesia tidak memiliki otoritas untuk menekan sumber inefisiensi dalam transportasi laut.
Peluang pengembangan transportasi laut dan sarana pendukungnya, yakni pelabuhan, diharapkan mampu memberikan kontribusi yang signifikan secara ekonomi. Potensi nilai ekonomi dari sektor ini minimal mencapai 6 miliar-9 miliar dollar AS dengan dasar perhitungan jumlah nilai ekspor dan impor sekitar 90 miliar dollar AS per tahun, di mana 7-10 persen adalah porsi transportasi laut. Kontribusi transportasi laut terhadap PDB sektor kelautan atas harga berlaku tahun 1998 mencapai 7,42 persen.
Dalam membangun transportasi laut nasional, kebijakan kelautan yang dikembangkan harus ditinjau dari empat aspek, yakni pertama dari aspek perangkat lunak. Caranya dengan mengembangkan berbagai kebijakan yang mendukung, termasuk meratifikasi hukum-hukum laut internasional yang mendorong berkembangnya pelayaran nasional. Kalau perlu sebagai langkah awal bekerja sama dengan pelayaran asing baik secara regional maupun bilateral.
Indonesia perlu meratifikasi beberapa konvensi internasional menyangkut private maritime law dengan menyesuaikan ketentuan-ketentuan hukum pusat maritim di Indonesia dengan ketentuan-ketentuan internasional tersebut.
Agar armada nasional berkembang, maka peraturan yang memberatkan, kebijakan perpajakan yang terlalu tinggi serta berbagai penyebab ekonomi biaya tinggi lainnya, harus dihilangkan.
Berikutnya adalah aspek perangkat keras. Untuk itu perlu kebijakan yang meningkatkan jumlah armada pelayaran nasional, baik untuk kapal niaga maupun kapal penumpang, dengan cara merumuskan kebijakan tentang pengembangan industri perkapalan nasional. Adalah suatu ironi, sebuah negara kepulauan semacam Indonesia tidak memiliki industri perkapalan yang tangguh.
Berkembangnya industri perkapalan diharapkan meningkatkan armada transportasi laut nasional. Ini selanjutnya akan meningkatkan perdagangan domestik antarpulau dan membuka akses keterisolasian bagi daerah-daerah yang berada di pulau-pulau kecil perbatasan seperti Pulau Nias, Natuna, Weh, dan Miangas. Dengan demikian, perekonomian masyarakat di pulau-pulau perbatasan dapat lebih berkembang lagi.
Industri perkapalan akan menunjang jasa perhubungan antarpulau di daerah yang berbasiskan kepulauan seperti Maluku, Riau Kepulauan, Bangka Belitung, NTT, dan NTB, maupun Irian Jaya, sekaligus industri pariwisata baharinya. Daerah-daerah yang memiliki taman laut seperti Bunaken, Wakatobi, Pulau Tujuh, dan Takabonerate, tentu bisa berkembang lebih baik lagi.
Hal lain yang perlu dikembangkan adalah pelabuhan hubport di Kawasan Timur maupun Kawasan Barat Indonesia untuk meningkatkan perolehan devisa negara yang selama ini mengalir ke Singapura atau Malaysia. Pelabuhan hubport selain Tanjung Priok juga perlu dipertimbangkan di Pelabuhan Sabang di Nanggroe Aceh Darussalam dan Makassar di Sulawesi Selatan. Ini akan mengurangi kehilangan devisa yang nilainya sebesar Rp 2,7 triliun setiap tahun akibat aktivitas pelabuhan transit hubport di negara lain (Kamaluddin, 2003).
Kebijakan lain yang tak kalah penting adalah mengalokasikan pendanaan untuk pendidikan kelautan dari tingkat menengah sampai pendidikan tinggi melalui APBN, sesuai amanat hasil amandemen UUD 1945.
Pengembangan sekolah-sekolah kejuruan kemaritiman di beberapa wilayah Indonesia yang berbasiskan kelautan dengan jurusan transportasi laut di dalamnya perlu mendapatkan prioritas.
Balai Latihan Kerja (BLK) Maritim perlu direvitalisasi untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang bersifat teknis dalam bidang permesinan, perbengkelan, dan galangan kapal. Pengembangan selanjutnya adalah pendidikan tinggi kemaritiman minimal sampai strata dua. Ada baiknya digalang kerja sama antara Institut Kelautan Indonesia (IKI) dan lembaga-lembaga internasional yang berkompetensi dalam sertifikasi tenaga kerja di bidang kelautan. Dengan demikian, kualitas SDM Indonesia diakui secara internasional dan berdaya saing tinggi di era pasar global.
Aspek berikutnya adalah pendanaan (financial). Kebijakan kelautan yang dianjurkan dalam aspek pendanaan adalah mengeluarkan paket insentif berupa kredit perbankan yang diperuntukkan bagi pengadaan armada transportasi laut, biaya operasional, dan biaya perawatan, sehingga pengusaha pelayaran nasional dapat memiliki armada sendiri dan tidak kedodoran. Oleh karena itu, perlu dikembangkan dukungan kelembagaan keuangan yang menunjang pengembangan armada transportasi laut nasional.
Dengan adanya kebijakan-kebijakan kelautan semacam itu, diharapkan sektor transportasi laut bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Hanya dengan cara ini, Indonesia sebagai bangsa bahari yang menganut prinsip negara kepulauan sesuai dengan Wawasan Nusantara akan semakin dihormati masyarakat internasional.