Pajak merupakan sumber pemasukan terbesar dalam APBN dimana dari tahun ke tahun perlu peningkatan, akan tetapi dalam kenyataannya terjadi kebocoran-kebocoran yang dilakukan oleh wajib pajak, aparat pajak maupun pihak ke-3 sehingga optimalisasi penerimaan tersebut tidak bisa tercapai. Untuk menimbulkan unsur jera pada pelaku maka ketentuan pidana yang ada dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan (UU No.16/2000 jo. UU No.6/83), Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( UU No.20/2000) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana perlu diberlakukan secara selektif. Dalam praktek ketentuan-ketentuan itu tidak digunakan secara optimal oleh aparat penegak hukum, dimana Undang – Undang tentang Tindak Pidana Korupsi lebih mendominasi sehingga ketentuan pidana dalam UU No 16/2000 tidak pernah dipakai. Berdasar azas lex specialist deregat legi generalis maka ketentuan pidana dalam UU No. 16/2000 harus diberlakukan.
Kata – kata kunci : pajak, tindak pidana, wajib pajak
A. Pendahuluan
Dalam suatu negara yang menganut sistem mekanisme pasar, termasuk mekanisme pasar terkendali seperti Indonesia, pajak merupakan “ instrumen “ pemerintah yang sangat vital dan strategis. Dengan uang pajak , pemerintah dapat melaksanakan pembangunan, mengerakkan roda pemerintahan, mengatur perekonomian masyarakat dan negara.
Dalam kaitannya dengan pembangunan dan kesejahteraan, pajak memiliki fungsi-fungsi yang dapat dipakai untuk menunjang tercapainya suatu masyarakat yang adil dan makmur secara merata. Fungsi – fungsi tersebut adalah budgeter / finansial yang memberikan masukan uang sebanyak-banyaknya ke kas negara dan fungsi regulerend / mengatur bahwa pajak sebagai alat untuk mengatur masyarakat baik dalam bidang ekonomi maupun politik. ( Erly Suandy, 2002 : 13 )
Adam Smith dalam bukunya An Inquire The Nature and Cause of the Wealth of Nations mengemukakan empat prinsip pokok yang harus di perhatikan dalam pemunggutan pajak yaitu : keadilan (equity ), yuridis (certainty), ekonomis dan efesiensi (convenience of payment ) bahwa penggenaan pajak jangan sampai mematikan atau
memberatkan dunia usaha justru makin memotivasi berkembangnya ekonomi suatu Negara. (Hadi Irawan, 2003, 10)
Menurut Direktur Jenderal Pajak Departemen Keuangan Hadi Purnomo bahwa tingkat kepatuhan pajak masyarakat meningkat pesat dalam tiga tahun terakhir ini, sebagai tercermin dari peningkatan perolehan pajak. Pendapatan pajak meningkat dari Rp. 100 triliun tahun 2001 menjadi Rp.164 trilliun tahun 2002, dan tahun 2003 ditargetkan meningkat lagi menjadi Rp.210 triliun akan tetapi baru terealisasi sebesar Rp. 204,153 triliun dengan perincian Pajak Penghasilan ( PPh ) Migas Rp. 18,78 triliun,PPN non Migas Rp.96,05 triliun, PBB Rp. 8,76 triliun,BPHTB Rp. 2,14 triliun dan pajak lainnya Rp.1,65 triliun. Sedangkan secara terpisah Dirjen Pajak Hadi Poernomo memperkirakan target penerimaan pajak pada APBN sebesar 232 triliun pada tahun 2004. (Jawa Pos, 2004 : 7) Dari perolehan ini sektor perpajakan menyumbang 75 % pendapatan negara. Untuk memenuhi target menjadi 81 % penyumbang pendapatan negara sungguh merupakan pekerjaan yang bukan mudah. Berbagai tantangan dan kendala yang dihadapi demikian kompleks, mulai dari masalah perekonomian nasional dan internasional, pelayanan birokrasi, hingga masalah kepatuhan dan kesadaran wajib pajak.
Kebijakan perpajakan di Indonesia memang mesti dilakukan dengan hati- hati karena kebijakan itu berapapun kadarnya tetap menjadi “disinsentif“ bagi perkembangan dunia usaha yang masih pincang sejak krisis ekonomi. Namun Kebijakan perpajakan tentu saja sulit menggulirkan pembangunan terutama penyediaan infrastruktur dan redistribusi pendapatan.
Apalagi penerimaan negara dari sektor pajak menjadi salah satu indikator kunci keberhasilan pemerintah. Jika ditarik lebih lanjut, apapun sistem pajak yang dilaksanakan maka ukuran keberhasilan akan berpulang pada jumlah setoran pajak pada kas negara, entah dari voluntary compliance wajib pajak ataupun dari tindakan aktif penagihan pajak.
Strategi peningkatan penerimaan pajak yang diterapkan pemerintah selain penambahan jumlah wajib pajak baik pribadi maupun badan, menyederhanakan sistem pajak melalui paket UU perpajakan, reformasi perpajakan tahun 2005 yang berkaitan dengan penurunan tarif tertinggi menjadi 30 %, peningkatan penghasilan tidak kena pajak pada Peraturan Menteri Keuangan No.564 tahun 2004, juga tidak melupakan program peningkatan pencairan tunggakan pajak antara lain melalui perbaikan frekuensi dan mutu penagihan pajak.
Untuk masalah kepatuhan wajib pajak maka Dirjen Pajak mulai mengoptimalkan seluruh aparatnya untuk memaksa wajib pajak yang membandel dan tidak kooperatif dalam memenuhi kewajibannya untuk membayar pajak .
Adapun hambatan itu bisa berupa perlawanan pasif dan aktif yang dilakukan oleh wajib pajak berbentuk badan hukum ( rechtpersoon, legal persoon ) dan orang pribadi ( naturalijk persoon ) dalam rangka untuk melepaskan kewajibannya membayar pajak, akibat perbuatan wajib pajak ini pemerintah dirugihkan miliaran rupiah. (Muqodim,1996 : 31-33 ) Nilai tunggakan 96 wajib pajak pada awal 2004 mencapai Rp.962,136 Miliar, namun para penunggak pajak itu bersedia mencicil kewajibannya pada akhir tahun 2004.
Menurut Staf Ahli Tenaga Pengkajian Bidang Pengawasan dan Penegakkan Hukum Dirjen Pajak Djangkung Soerjawadi bahwa upaya yang telah dilakukan untuk memaksa wajib pajak membayar pajak dengan diterapkanya paksa badan ( gijzeling ) terhadap wajib pajak yang tidak kooperatif contoh seorang importir berinisial Jasman Liem dari PT. EI Jakarta yang mempunyai tunggakan di Kantor Pelayanan Pajak Sawah Besar Jakarta sebesar 11 miliar dan M. Greenswood seorang warga negara Inggris . ( Media Indonesia , 14 Pebruari 2004 )
Terhadap wajib pajak yang melakukan penghindaran diri dari kewajiban dengan cara penyelundupan ( tax evasion ) terhadap perbuatan tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut atau tidak membayar bea masuk dengan cara suatu peryataan yang tidak benar, atau memberikan data-data tidak benar ( vide keterangan palsu pada dokumen ) maka tindakan ini merupakan pelanggaran undang – undang dalam bentuk tindak pidana.
Adapun sanksi yang bisa dijatuhkan pada wajib pajak bisa berupa sanksi administrasi maupun pidana sebagaimana telah diatur dalam Kitab Undang –Undang Hukum Pidana, Undang – Undang No. 31 Tahun 2001 Jo.Undang – Undang No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang – Undang No.6 Tahun 1983 Jo. Undang – Undang No.10 Tahun 1997 Jo. Undang – Undang No 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Upaya – upaya yang dilakukan aparat pajak dengan terobosan – terobosan dengan menerapkan berbagai kebijakan diharapkan dapat mengoptimalkan tingkat pendapatan dari tahun ke tahun akan tetapi realisasi itu banyak menghadapi kendala terutama berkaitan dengan tingkat kepatuhan dan kesadaran baik dari wajib pajak maupun aparat sendiri, dimana masih terjadi kebocoran – kebocoran dalam realisasi penerimaan pajak, untuk itu dapat dirumuskan permasalahan yang perlu dikaji sebagai berikut :
Bagaimana kebijakan hukum pidana positif dalam pengaturan tindak pidana di bidang perpajakan ?
Bagaimana sanksi pidana dalam tindak pidana perpajakan ?
ADS HERE !!!