TUGAS UTAMA PEMIMPIN MANAJEMEN SEKOLAH KATOLIK: MEMBANGUN BUDAYA TRUST (RASA SALING PERCAYA)
Kenyataan dunia usaha saat ini adalah jelas: berubah atau mati. Keunggulan kompetitif diperoleh tidak dari sejarah kekuatan perusahaan di masa lampau, tetapi dari kemampuannya untuk membangun kekuatan baru dalam menghadapi munculnya tantangan dan peluang baru. Dengan kata lain, keunggulan kompetitif muncul dari kemampuan organisasi untuk menggunakan sumber dayanya yang ada untuk mengganti pola sukses di masa lampau dengan pendekatan-pendekatan inovatif di masa sekarang. Membangun kekuatan baru berarti menuntut perusahaan untuk meninggalkan, paling tidak sebagian, dari pola kerja lamanya.
Rasa percaya di antara anggota organisasi menambah kemungkinan keberhasilan suatu perubahan. Artinya, rasa percaya menambah keberanian bahwa orang akan meninggalkan pola kerja lama demi pendekatan-pendekatan yang baru. Rasa percaya adalah suatu modal bersama (collaborative capital) yang bisa dipergunakan demi mencapai kemajuan.
Kata Trust atau Rasa Percaya dibedakan dari kata “Keyakinan”. Kita percaya pada seseorang karena kita melakukan penilaian atas kemampuan atau karakter dari orang tersebut. Kita percaya pada seseorang karana dia menunjukkan bahwa memang layak untuk dipercaya. Sedangkan “keyakinan” berasal dari pengetahuan tertentu, dibangun atas dasar akal dan fakta.
“Rasa Percaya” dibangun atas dasar iman. Namun “percaya” di sini juga bukan berarti “iman mutlak”. Dalam situasi ekstrim, iman bisa dipandang sebagai suatu keyakinan yang kebal terhadap kontradiksi informasi atau peristiwa. Iman murni adalah melewati batas akal budi. Namun “percaya” biasanya dipandang lebih rapuh dari “iman”. Rasa “percaya” bisa patah atau hilang. Kita bisa menarik rasa “percaya” kita dari seseorang, dan demikian pula orang lain bisa tidak lagi “percaya” kepada kita. Jadi “percaya” lebih dari hanya sekedar “keyakinan” dan sedikit di bawah iman buta. “Percaya” adalah kesadaran bahwa dia yang dipercaya bisa memenuhi harapan positif kita.
Rasa “percaya” tersebut sedemikian kompleks sehingga amat sulit untuk menumbuhkannya lagi sekali itu hilang. Oleh karena itu, rasa percaya harus dipandang sebagai asset penting yang harus dilindungi oleh organisasi dan dikembangkan sama seperti asset penting lainnya.
Merancang dan mengimplementasikan struktur dan proses-proses formal dari organisasi supaya dapat menjaga rasa percaya adalah sebuah tugas yang tidak mudah. Bagian paling sulit adalah untuk membangun kultur atau budaya rasa percaya, yang sering disebut sebagai “perangkat lunak” dari hidup satu organisasi. Tahun 1980-an banyak perusahaan Amerika memusatkan perhatian dan tenaga untuk membangun “perangkat keras” organisasi. Akan tetapi perangkat keras selalu ada batasnya. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan Jepang mengembangkan “perangkat lunak” yakni budaya yang menyatukan produktivitas dengan roh manusia, yang tidak ada batasnya.
Budaya organisasi menunjuk pada aspek-aspek informal dari hidup organisasi yang memiliki penagruh pada kinerja kelompok. T. Ohno, pimpinan Toyota, mengamati bahwa sukses datang bukan dari system formal organisasi,namun dari “roh” yang menopang system tersebut. Bagian-bagian paling kritis dalam usaha mengembangkan budaya rasa percaya tinggi dalam organisasi atau tim adalah:
1. Bagaimana mengembangkan visi bersama yang mencerminkan keunggulan kompetitif:
Rasa percaya akan lebih mudah tumbuh di dalam organisasi yang mengartikulasikan secara jelas tujuan dan keinginan yang mau dicapai bersama. Hal ini menjadi amat penting ketika perbedaan individu muncul, ketika anggota organisasi saling mempertanyakan motif masing-masing, apakah masing-masing bertindak demi kepentingan pribadi atau demi kepentingan keseluruhan organisasi. Adanya visi bersama yang diterima sebagai tujuan bersama membantu individu untuk mengatasi masalah-masalah perbedaan pendapat atau kepentingan tersebut. Visi bersama menjadi semacam daya ikat untuk terus membangun rasa percaya di tengah segala perbedaan.
2. Bagaimana menghidupi nilai dan prinsip-prinsip dasar secara nyata dan terasakan:
Rasa percaya semakin mudah tumbuh ketika orang berbagi prinsip hidup dan norma-norma yang sama. Rasa percaya tumbuh ketika orang bisa memiliki harapan atau ekspektasi tentang konsistensi dan tindakan jujur. Misalnya di perusahaan Pepsi nilai “result and integrity” atau “hasil dan integritas” amat dirasakan pentingnya. Dua kata itu memiliki tempat tersendiri dalam budaya organisasi mereka. Kata “hasil” menunjuk pada konsistensi untuk memberikan hasil seperti yang dijanjikan. Integritas menyangkut keseluruhan sikap keterbukaan dan kejujuran, sekaligus komitmen pada yang lain. Meski hanya dua kata, namun dua kata ini mampu membangun fondasi amat kokoh dalam budaya Pepsi.
3. Membangun kebiasaan untuk saling mengenal di semua level organisasi:
Amat sulit mempercayai orang yang tidak kita kenal. Rasa percaya dibangun dari kontak langsung antara pimpinan dengan anggota organisasi. Dengan hadirnya teknologi informasi yang membuat orang bisa berkomunikasi tanpa perlu bertatapan muka, semakin penting bagi organisasi untuk mencari cara agar hubungan personal antar anggota organisasi tetap terjaga.
Hewlett-Packard melembagakan sejumlah teknik manajerial yang memastikan ada kontak teratur dan terus menerus antara anggota organisasi di semua level. Hal ini termasuk kebijakan pelayanan “pintu terbuka” atau “open-door policy” dimana perbedaan jabatan disingkirkan dan percakapan bisa berlangsung bebas. Setiap orang boleh mengungkapkan ide, pendapat, masalah atau keprihatinan mereka. Pelayanan ini dibuat untuk membangun rasa saling percaya antar anggota organisasi.
4. Mendorong budaya berani mengambil resiko dan bereksperimen.
Di dalam konteks bisnis dan situasi dunia yang berubah cepat, kemampuan untuk mengambil keputusan secara cepat dan maju ke depan dengan inisiatif-inisiatif adalah kunci dalam mempertahankan rasa percaya. Hal ini didukung oleh budaya organisasi yang memungkinkan bahwa karyawan atau anggota organisasi diberi otonomi secukupnya dalam menjalankan berbagai aspek usaha dengan disertai rasa percaya bahwa mereka yang gagal akan diberi kesempatan untuk belajar dari kesalahan mereka dan menjadi lebih baik dalam pekerjaan dan tanggung jawab selanjutnya. Kemampuan untuk melewati saat-saat sulit, saling mendukung ketika berada dalam kondisi rawan, akan mampu membangun rasa percaya yang luar biasa. Memang tidak berarti kemudian bisa asal-asalan atau nekat-nekatan mengambil resiko, namun “well-intentioned failure” atau kegagalan sebagai buah sebuah usaha serius dan baik dalam jangka panjang akan amat berarti.
5. Membuat symbol-simbol nyata dari Rasa Percaya:
Keterbukaan adalah symbol nyata dari Rasa Percaya. Kesediaan untuk diaudit, secara jujur melaporkan barang atau penghargaan yang diterima dari pelanggan atau supplier untuk disposisi lebih lanjut, dsb memberi gambaran tentang level rasa percaya yang ada dalam budaya organisasi.